Jumat, 28 Agustus 2009

Kesempatan kedua


Tom terbangun lebih dulu. Berbaring di ruangan yang gelap kemudian mendesah ketika ia menjulurkan tangannya untuk mematikan weker. Jam lima tiga puluh. Sinar lampunya yang berwarna merah berkedip-kedip, berbunyi marah, menunggunya untuk mematikannya. Ia menoleh untuk melihat apakah Sarah sudah bangun, tetapi tidak. Dia masih tertidur, tubuhnya membelakangi Tom, bernafas teratur.
Tom sudah berkemas-kemas malam sebelumnya, sudah sangat terbiasa dengan perjalanan bisnis sepert ini, terbangun di malam hari, melihat ke jendela untuk mengecek apakah mobil sewaannya sudah menunggu di jalan, supirnya mengisi waktu dengan membaca New York Post, memegang secangkir kopi di tangannya.
Keuntungannya, seperti yang diketahui dengan baik olehnya dan Sarah, perjalanan bisnis ini tidak akan berlangsung selamanya. Segera setelah perusahaannya, sebuah perusahaan perangkat lunak besar, menyelesaikan pembelian perusahaan-perusahaan kecil sejenis, sebagai direktur utama, dia akan punya waktu untuk berkonsentrasi untuk mengembangkan apa yang sudah mereka miliki. Tom sudah berusia tiga puluh sembilan tahun sekarang, dan dalam waktu kurang lebih tiga tahun, harapannya adalah bonus tahunannya bisa memberinya kesempatan untuk mengerjakan hal lain. Sebagian uang akan dipisahkan untuk kuliah anak-anak, dan ia bisa pension, mungkin mempunyai bisnis sendiri, melakukan sesuatu yang tidak terlalu banyak bepergian, sehingga jauh dari keluarganya.
Di kamar mandi, ia tersandung Tickle Me Elmo dan menggelengkan kepalanya dengan putus asa sebelum tersenyum ketika teringat Dustin, dua tahun, tertawa terbahak-bahak disebelah Elmo sebelum kakak perempuannya, Violet, mengambilnya dan membuat Dustin menangis.
Setelah mandi air panas, mengemas sebagian barang-barangnya lagi, dan ia pun siap. Kembali ke kamar untuk mencium Sarah di pipinya. ‘Aku cinta kamu, Bunks,’ bisiknya, mereka saling memanggil dengan menggunakan nama hewan peliharaan mereka sejak entah kapan.
Sarah bergerak dan membuka matanya. ‘Aku cinta kamu,’ gumamnya. ‘Jam berapa sekarang?’
‘Baru lewat jam enam. Mobilku sudah datang. Apakah kau sudah mau bangun?’
‘Yup. Sebentar lagi. Harus menyiapkan anak-anak untuk berangkat sekolah.’
‘Berjanjilah kau akan memotret Dustin di pertunjukannya, okay?’
‘Okay, sayang. Janji. Hati-hati di jalan.’
‘Tentu saja. Aku akan menelponmu sebelum naik ke kereta.’
‘ ‘key,’ Sarah tersenyum dan kembali terkulai di bantalnya dan kembali tertidur bahkan sebelum Tom mencapai pintu depan.
Menyeberangi Samudera Atlantik, tepat ketika mobil Tom menepi di jalan, Holly Macintosh terbangun: jam 11.00 am. Hari ini ia libur, setelah kelelahan karena kurang tidur beberapa hari terakhir, dan melakukan rutinitas yang sama: keluar dari kamar tidurnya, menyalakan lampu kamar mandinya yang kecil, dan membenamkan kepalanya di tangannya selagi ia duduk di toilet. Ini sudah terjadi selama beberapa malam. Pada saat yang kurang lebih sama, Holly terbangun karena ingin pipis, dan ketika ia kembali ke tempat tidur pikirannya kembali sibuk bekerja, sehingga beberapa hari terakhir ini ia baru bangun ketika matahari sudah tinggi.
Minggu kemarin ia baru saja berhasil untuk tidur nyenyak ketika Daisy memasuki kamarnya, clad kaus kaki yang tidak sama, pajama Spiderman kakaknya, dan scarf cashmere favorit Holly melilit di lehernya. Daisy meminta Weetabix, dan Holly melangkah turun dari tempat tidur shooting daggers ke Marcus, yang – seperti yang sangat diyakininya – sedang berpura-pura tidur.
Dan kemarin ia tidak tidur semalaman. Ia berbaring di tempat tidur, matanya terpejam, mencoba mengabaikan dengkur suaminya, yang sudah tidur terlalu nyenyak untuk memperhatikan kejengkelannya. Biasanya ketika dengkurannya semakin mengganggunya, bahkan ketika ia sedang tidak tidur atau berpura-pura ingin kembali tidur, ia akan menarik tubuh suaminya hingga berbaring telentang. ‘Kau mendengkur,’ desisnya, menahan keinginan untuk mendorongnya kuat-kuat hingga jatuh dari tempat tidur.
Holly menyalakan lampu kamar semalam, menunggu suaminya bangun, kemudian berguling lagi, masih tertidur. Ia mengumpulkan majalah dari tumpukan di lantai sebelah tempat tidurnya, resigning malam-malam yang panjang yang membuatnya senseless di pagi hari.
Pagi ini, seperti zombie yang memakai piyama kebesaran dan sandal kamar, Holly sedang bersiap-siap untuk membangunkan anak-anak. ‘Jangan mulai,’ tukasnya penuh peringatan kepada Oliver, yang selalu jengkel setiap pagi, dan terutama jika kakak perempuannya yang berusia empat tahun telah menemukan cara untuk membuatnya menangis, dan dengan senang menjadikan hal itu sebagai ritual pagi hari.
Pengasuh mereka sedang menyiapkan sarapan, dan Holly tersenyum penuh rasa terima kasih ketika Frauke membungkuk untuk mengancingkan pakaian anak-anak, meletakkan ham dan keju diatas roti untuk dirinya sendiri dan menggigitnya sambil menuntun Daisy dan Oliver.
‘Aku tidak bekerja hari ini,’ ujar Holly. ‘Tapi aku sangat lelah. Malam yang buruk seperti biasa. Apakah kau keberatan untuk mengatur kegiatan anak-anak untuk sore ini? Aku hanya sangat ingin tidur. Kau bisa?’
‘Ya,’ Frauke mengangguk, dengan ekspresi stern – sebagai akibat dari pergi keluar semalam bersama enam orang pengasuh lainnya dan minum-minum di Starbucks sampai larut malam. ‘Aku akan menelpon Luciana, walaupun terakhir kali aku mencoba untuk menemuinya dia terlambat tiga puluh enam menit, dan itu tidak bagus. Tapi aku akan mencoba lagi. Jangan khawatir, Holly. Aku akan mengatur agar anak-anak tidak di rumah sore ini. Mungkin ke museum.’
Holly mendesah puas. Ia menyebut Frauke kepada teman-temannya sebagai ‘anak perempuanku yang sudah dewasa dari pernikahan pertamaku.’ Teman-temannya selalu mengeluhkan pengasuh mereka, tapi Holly selalu merasa berterima kasih Frauke telah memasuki kehidupannya. Dia sangat teratur, tegas, penyayang, dan bahagia. Jika Marcus pergi kerja dan hanya Holly dan Frauke bersama anak-anak, rumah selalu terasa lebih ceria, bahagia, suasana sangat berubah.
Jadi sekarang, setelah terbangun jam 11.00 am, Holly bangkit dan membuatkan dirinya secangkir teh, menikmati keheningan rumah saat tengah hari. Ini adalah rumah diaman dirinya dan Marcus hidup bersama sebelum anak-anak lahir. Ini adalah rumah yang dibelinya, penuh harapan untuk mengisinya bersama anak-anak dan hewan peliharaan, tetangga dan teman-teman bisa mampir kapan saja siang hari dan malam hari. Sebuah rumah dimana kami bisa tumbuh, pikirnya. Sebuah rumah yang benar-benar senyaman rumah.
Ibu Holly adalah seorang decorator interior, dan setiap rumah dimana Holly pernah tinggal semasa kecilnya adalah sebuah proyek. Segera setelah proyeknya selesai, keluarga Macintosh pindah lagi. Holly sudah pernah memiliki kamar tidur yang dicat dengan berbagai warna pelangi. Suatu waktu berwarna biru langit, kuning Laura Ashley, fuchsia terang, dan emas. Ia pernah mencoba untuk berhenti merasa terikat dengan setiap rumah yang ditinggalinya, tapi dengan harapan terpendam bahwa setiap kali mereka pindah maka rumah ini adalah rumah yang akan membuat ibunya jatuh cinta, sehingga kali ini ia akhirnya benar-benar merasa di rumah.
Ketika ia dan Marcus menemukan rumah ini di Brondesbury, Holly tahu ia tidak akan pernah meninggalkannya. Lima kamar tidur untuk semua anak-anaknya yang belum lahir, taman yang luas untuk barbecue dan seperangkat ayunan, dapur besar dilapidated yang mulai ditatanya dalam pikirannya ketika mereka pertama kali melihatnya.
Tidak diragukan lagi ini adalah rumah. Holly membeli sendiri setiap perabotannya, trawled ke toko barang antic, menghabiskan berbulan-bulan mengunjungi toko obral untuk mencari sesuatu yang istimewa, bahkan membeli beberapa macam barang di eBay, dan hanya satu kali dikecewakan. (Suatu waktu ia ingin membeli sofa yang seharusnya berada dalam kondisi yang baik, tapi ternyata gambar yang ada di eBay adalah sofa yang berbeda, dan sofa antik yang seharusnya berwarna cherry ternyata malah berwarna seperti cacing tanah).
Dalam banyak hal, Holly memiliki kehidupan yang selalu didambakannya. Ia masih merasa senang setiap kali ia pulang ke rumah, dan paling tidak empat kali seminggu, ia berkeliling rumahnya, bersandar di lorong dan mengamati ruangan-ruangannya, tersenyum kepada rumah yang telah ditatanya.
Ia mempunyai anak-anak yang manis, Daisy, yang seperti versi mini Holly, dan Oliver, yang serius, pensive, lebih seperti suaminya.
Ia mempunyai karir yang dicintainya – ia adalah illustrator paruh waktu – dan suami yang kelihatan seperti suami yang sempurna. Marcus sangat sukses – seorang pengacara di sebuah biro hukum ternama, dia menjadi pengacara perceraian pilihan para selebritas. Dia tinggi dan penampilannya distinguished dengan setelan yang bagus dan dasi sutra, aroma rambutnya memberinya gravitas he only aspired to ketika ia dan Holle bertemu. Dia telah banyak berubah, tapi Holly mencoba untuk tidak memikirkannya, atau paling tidak mencoba untuk tidak meributkannya. Teman-teman lama Marcus bahkan secara lembut telah mencoba rib him untuk mengganti namanya dari Mark menjadi Marcus, tapi hasilnya seperti lead balloon, dan teman-temannya yang lain sudah belajar untuk tidak menggoda Marcus mengenai masa lalunya.
Apakah dia punya selera humor? Menurut Holly begitu. Ia teringat masa ketika dia selalu membuatnya tertawa, ketika mereka sering keluar bersama teman-teman dan Holly harus menghapus air matanya karena tertawa geli dari pipinya. Ia sudah lama tidak tertawa lagi dengannya, jam kerja Marcus semakin panjang ketika karirnya semakin meningkat.
Mereka juga sudah lama tidak bertemu dengan teman-teman mereka. Holly, yang senang memasak, biasanya sering mengadakan jamuan makan malam. Ia sebetulnya tidak betul-betul menginginkan jamuan makan malam, lebih suka kalau makan-makan biasa di dapur, dengan teman-teman mereka berdiri sambil memegang segelas wine ketika ia menyiapkan salad, tapi Marcus memaksa untuk mengadakan jamuan dengan layak.
Marcus memaksa untuk memakai peralatan makan terbaik. Dia memaksa untuk makan di ruang makan di meja mahogany dengan kursi-kursi Chippendale, tapi itu adalah hadiah dari bibi Holly yang selalu dibencinya. Sebetulnya barang-barang itu bagus, tapi rasanya terlalu formal, tidak sesuai dengan kehidupan yang selalu dibayangkannya.
Pernah suatu malam mereka diundang makan di tempat salah satu tetangga mereka, dan ruang makannya adalah ruangan sederhana, terang benderang, dengan pintu ala Prancis menuju ke teras, setiap dindingnya dipenuhi buku hingga ke langit-langit, lantai kayunya dicat berwarna putih mengkilap, sebuah meja bundar dengan kursi-kursi Formica ala retro. Suasananya sangat hangat dan akrab, dan Holly sangat menikmatinya.
‘Bukankah ruang makan kita akan lebih menyenangkan kalau dibuat seperti itu?’ katanya kepada Marcus ketika mereka memasuki mobil jam sembilan malam. (Holly ingin tinggal lebih lama, ingin sekali tinggal lebih lama, karena sudah lama tidak bersenang-senang seperti ini, tapi Marcus memaksa untuk pulang karena dia sedang mengerjakan kasus besar dan masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya di rumah).
Marcus menggelengkan kepalanya. ‘Menurutku ghastly,’ tukasnya. ‘Ruang makan untuk makan, bukan untuk membaca.’
Oh persetan, piker Holly, memutar matanya ketika ia berpaling dan memandang keluar jendela. Sejak kapan dia menjadi ahli soal ruang makan?
Marcus mempunyai banyak teori yang mengerikan, terutama soal benar dan salah; bagaimana seseorang seharusnya bertindak; bagaimana tingkah laku anak-anak yang seharusnya; mana yang umum dan mana yang tidak.
Banyak orang yang tertipu mengenai Marcus, yakin bahwa perilakunya adalah seperti penampilannya, tapi banyak juga yang tidak percaya. Tetapi Holly, tidak menyadari ini. Belum. Menurut Holly orang menilai Marcus hanya dari penampilannya saja. Menurutnya Marcus mempunyai kesan yang sempurna seperti halnya seseorang yang berasal dari keluarga baik-baik, kaya, aristocrat, dan selalu berhasil menampilkannya. Kenapa dia mau berbuat begini adalah sesuatu yang bahkan tidak ingin dipahami oleh Holly.
Kadang-kadang Marcus memang menanggalkan kepura-puraannya. Tentu saja, beberapa teman-teman dari universitas yang ingat mengenai orang tuanya, masa kecilnya, tahu bahwa semua ini hanyalah sandiwara, tapi mereka masih mengisi kehidupannya karena mereka semua sudah belajar untuk menyimpan rahasia.
Jadi dia telah memperoleh tata krama dan sopan santun dan keanggunan dan daya tarik dari Holly, tapi karena dia meniru-niru Holly, meniru siapa saja yang berada di sekitarnya yang ingin dibuatnya terkesan, dan karena tidak satupun dari perilaku ini yang datang langsung dari dalam dirinya, daya tariknya mulai memudar, tata kramanya bisa menghilang, terutama jika Marcus sedang merasa hebat.
Dia berusaha mati-matian untuk menjaga agar ibunya tetap di Bristol, takut ibunya akan membuka masa lalunya; Joanie yang malang, yang sangat ingin menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya tapi tidak tahu bagaimana harus melewatkan waktu bersama putranya yang tidak lagi dikenalinya; Joanie yang hidup sendirian di rumah kecilnya, ditemani oleh foto-foto, utterly bewildered.
Bingung karena dia telah membesarkan anak yang seperti ini, anak yang setelah disadarinya malu akan dirinya. Anak yang terus menerus membelikannya scarf dari Hermes atau jas hujan Burberry, bukan karena dia membutuhkannya atau karena dia memintanya, tapi karena – seperti yang diketahuinya dengan pasti – Marcus mencoba untuk merubah dirinya menjadi orang lain.
Jas hujan plastiknya sudah cukup, terima kasih, dan mac yang dibelinya dari M&S bertahun-tahun yang lalu masih berfungsi dengan baik. Jika hadiah-hadiah itu tiba, Joanie membungkusnya dan memberikannya ke Oxfam, kecuali tentu saja, dia sedang bermain bridge bersama teman-temannya dan mereka boleh memilih.
Dia tidak tahu apa yang menyebabkan anaknya menjadi lebih sombong daripada Ratu. Dia sangat bangga kepadanya, prestasinya – dia adalah satu-satunya ibu di kota itu yang anaknya adalah pengacara dan sebentar lagi akan menjadi seorang partner. Seorang partner! Siapa yang akan menyangka! Tapi secara pribadi, dia harus mengakui bahwa dia tidak terlalu menyukainya.
Joanie merasa sangat buruk karena mempunyai pandangan seperti itu terhadap putranya. Bagaimana mungkin dia berpikir begitu terhadap darah dagingnya sendiri? Tapi Joanie Carter adalah seorang yang sangat berpikiran logis, dan walaupun Marcus akan selalu menjadi putranya dan dia akan selalu mencintainya, Joanie cukup yakin bahwa dia tidak menyukai putranya.
Dia piker siapa dirinya? Pikir Joanie ketika sehelai scarf lainnya tiba. Tapi dia sudah tahu jawabannya. Dia adalah Marcus Carter. Dan menurutnya dia lebih baik dari kami semua.
Menurut Joanie Holly adalah orang yang menyenangkan karena dia sangat rendah hati. Joanie bisa melihat Marcus tumbuh menjadi seorang yang egois, semakin sombong, dan dia berharap, selalu berharap, Holly bisa melenyapkan sifat-sifat itu dari Marcus. Dia tidak tahu bagaimana Holly bisa cocok dengan putranya, dan sangat senang bahwa Holly bertingkah normal dan tidak selalu menuruti Marcus jika dia sedang tidak ada, yang kelihatannya selalu begitu akhir-akhir ini. Tapi Joanie tidak bisa berhenti berpikir bagaimana mereka bisa hidup bersama, tidak habis piker bahwa ini adalah pasangan yang paling janggal yang pernah dilihatnya.
Joanie berpikir mungkin aneh untuk buru-buru membandingkan dari awal dia bertemu dengan Holly walaupun dia sangat menyenangkan. Marcus mengajaknya dan Holly untuk minum teh di Ritz, dan Holly sangat effervescent sampai-sampai Joanie takut dia bisa fizz up menembus langit-langit. Untunglah, pikirnya lega. Mungkin putraku punya kesempatan. Mungkin perempuan cantik yang menyenangkan ini bisa melenyapkan stuffiness dalam diri Marcus.
Kemudian tibalah saat pertunangan dan cincin berliannya lebih besar dari cincin manapun yang pernah dilihat Joanie, dan rencana pernikahan menghabiskan banyak waktu dan energi mereka berdua. Holly menelponnya dan mengatakan bahwa acaranya sederhana, mungkin di sebuah hotel kecil atau gereja local dilanjutkan dengan makan siang bersama teman-teman mereka.
Akhirnya pernikahan itu diadakan di Savoy. Dua ratus orang. Holly kelihatan luar biasa dengan gaun sheath Jenny Packham, but strangely subdued, piker Joanie – serene dan memukau, tapi ada setitik kesedihan yang disembunyikannya, menolak untuk mencoba mengerti apa artinya.
Bahkan Holly pun menolak untuk memahami apa artinya. Marcus melamarnya, persis seperti yang sudah diduganya, dengan bertekuk lutut di sisi sungai Thames disamping Southbank Center. Dia menunjukkan cincinnya, persis seperti yang sudah diduga Holly, dan ia tidak bisa memikirkan alasan untuk menolaknya.
Lagipula, Marcus adalah segala yang dicari Holly dari seorang pria, paling tidak begitulah pikirannya, dan segera saja ia disibukkan dengan rencana pernikahan – jauh lebih lavish daripada yang diinginkannya, tapi ini juga merupakan hari untuk Marcus – dan Holly tidak berhenti untuk memikirkan keraguannya, tidak berhenti untuk membiarkan keraguannya tumbuh dan berkembang.
Jika melihat kembali ke belakang, orang yang memperhatikan mungkin akan melihat Holly terlihat ‘berat’ di hari pernikahannya. Bukan ‘berat’ dalam arti gendut – Holly terlihat sangat kurus, stress karena selalu berusaha untuk membuat Marcus bahagia cukup berperan – tapi kelihatannya seperti ada beban di pundaknya, a flatness spirit, a heavy energy.
Ia mencium Marcus, berdansa, menyapa tamu-tamunya dan kelihatan berseri-seri ketika berbicara dengan orang-orang terdekatnya, tapi bukanlah sesuatu seperti yang kau harapkan dari mempelai wanita pada hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya.
Joanie belum pernah mengatakan tentang hal ini sebelumnya, tapi jika kau menanyakannya kepadanya, dia akan mengangguk setuju bahwa itulah yang dirasakannya. Dan selama bertahun-tahun, dia khawatir Holly tidak bahagia. Khawatir bahwa, terlepas dari apa yang nampak dari luar dan kebahagiaannya dengan anak-anaknya, Marcus semakin menjadi orang yang sulit dan imperious bagi Holly.
* * *
Holly bisa saja menghakimi Marcus, bisa saja menemukan kekurangan yang tidak bisa ditolerir oleh ibunya tapi, secara keseluruhan, ia tidak menemukannya. Ia sadar bahwa Marcus yang sekarang berbeda, tapi tentu saja Holly tidak akan tetap bersamanya karena ia tahu bahwa Marcus hanya bersembunyi di balik pomposity and grandness.
Holly tahu bahwa jauh di dalam hatinya ada seorang anak laki-laki yang ketakutan bahwa dia belum cukup baik; dan dalam usahanya untuk tampil baik dia harus selalu dikelilingi oleh orang-orang yang he deems worthy; fraternizing dengan orang lain yang lebih rendah dari dirinya akan diminish him in other people’s eyes, jadi dia tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang he regards as inferior.
Itu adalah salah satu alasan mengapa Marcus jatuh cinta dengan Holly. Holly berasal dari keluarga yang sangat diinginkan Marcus, seorang istri yang luar biasa. Kecuali bahwa, setelah Marcus memilikinya, ia harus subtly put her down, memastikan Holly tidak pernah berpikir bahwa ia lebih baik dari Marcus, memastikan bahwa ia masih bisa merasa superior di depan Holly.
Terlepas dari semua ini, Marcus mempunyai banyak hal yang positif. Tentu saja punya; kalau tidak kenapa Holly mau menikah dengannya? Pertama-tama, Marcus mencintainya, atau paling tidak Holly yakin Marcus mencintainya. Dia menunjukkannya dengan berbagai bentuk kebaikan, perhatian. Kalau Marcus kebetulan melewati kios majalah dalam perjalanan pulang dari kantor dan dia melihat edisi terbaru Hello! atau Heat, dia selalu membelikannya untuk Holly. Dia sering mengirimkan bunga-bunga cantik, dan kadang-kadang pulang dan membawakannya Crunchie atau Kit-Kat, kesenangan terlarang Holly.
Dan Marcus pun, saat berada di rumah, cukup senang bersama anak-anak. Walaupun tidak terlalu lama, dan hanya jika anak-anak bersikap sepantasnya, misalnya tidak menjerit-jerit, merengek, menangis atau memukul-mukul – semua tingkah laku yang harus dihadapi Holly sepanjang waktu – bagaimanapun juga, anak-anak terlalu takut untuk bersikap tidak seperti yang sudah diajarkan, dan dalam beberapa kesempatan teman-teman Holly akan mengamati Marcus saat sedang bersama anak-anak dan berpendapat bahwa dia adalah ayah yang luar biasa.
Dan dia juga seorang suami yang luar biasa, Holly berkata kepada dirinya sendiri setiap kali saat tengah malam ia terbangun dengan panic, panic bahwa pernikahannya tidak akan berlangsung lama, panic karena ia belum pernah merasa begitu kesepian, panic karena ia tidak pernah bertemu dengannya, bahwa ia tidak punya satu kesamaan pun dengannya, bahwa mereka semakin lama semakin jauh.
Marcus tidak akan melihat hal semacam ini. Bagaimana mungkin, jika Holly, seperti wanita pada umumnya, sangat pandai berpura-pura? Sepanjang hari, jka Marcus tidak ada, ia bisa menjadi dirinya sendiri, mengundang teman-teman wanitanya bersama anak-anak mereka mampir untuk makan siang, menyajikan salad, roti pitta, dan saus untuk dimakan di meja dapur dan anak-anak akan mengotorinya dengan fish finger.
Ia bisa membuka sebotol wine dan memasang Shakira di stereo, ia dan Frauke akan menggoyangkan pinggul mereka sementara Daisy, berusaha meniru mereka, membuat Holly shock karena anak umur empat tahun bisa nampak begitu dewasa, begitu feminism, begitu – demi Tuhan, ia tidak percaya bisa berpikir begini – seksi. Tapi ia bisa bersenang-senang, bisa memakai celana kargo yang sudah usang dan kaus lusuh, hoodies dan tidak memakai riasan wajah, dan tidak merasa perlu untuk membuat orang lain terkesan.
Dan kalau Marcus pulang, Holly bisa berubah menjadi seperti yang diinginkan Marcus. Kalau mereka tinggal di rumah, ia akan berganti dengan celana jeans gelap dan sweater cashmere, anting berlian kecil, atau, kalau mereka makan di luar, memakai celana wool, sepatu boot tumit tinggi, dan jaket velvet.
Musiknya dimatikan, bantal-bantal sofa ditata dengan sempurna. Holly mendapat dirinya berlarian mengelilingi rumah setiap malam sebelum Marcus pulang, memastikan segalanya sudah seperti yang disukai Marcus. Anak-anak tidak diperbolehkan membuat benteng dengan menggunakan bantal-bantal sofa di ruang tamu, dan Frauke bertugas untuk memastikan Marcus tidak tahu bahwa setiap sore bantal-bantal di rumahnya ditumpuk di ruang tamu.
Anak-anak juga tidak diperbolehkan berlarian sambil ‘telanjang seperti savages’ di halaman, dan, suatu sore di musim panas yang langka ketika Marcus memberitahu bahwa dia akan pulang lebih awal, Holly dan Frauke akan memohon, cajole, dan plead anak-anak untuk memakai pakaian renang mereka sebelum Daddy pulang.
Ayahnya sendiri sudah berhenti untuk menunjukkan perhatian kepada Holly setelah bercerai. Ia masih ingat jelas ketika berusia empat belas tahun, ayahnya mengajaknya minum teh di Fortnum & Mason, dan ketika ia sedang menyantap seporsi besar chocolate sundae, dia berkata bahwa dia menyayanginya, akan selalu berada di sisinya, dan apa pun yang terjadi dia akan selalu menemuinya setiap hari dan pada akhir pecan.
Dia tidak berkata bahwa bahwa alasan perceraian itu adalah karena his persistent infidelity. Holly baru mengetahuinya belakangan.
Selama beberapa waktu, dia menepati janjinya untuk selalu menemui Holly. Selama enam bulan. Dan kemudian dia bertemu dengan Celia Benson, dan tahu-tahu saja dia sibuk berkeliling dengan jet ke Paris, atau Florence, atau St. tropez dengan Celia, dan segera saja dia mempunyai keluarga baru, dan Holly terabaikan.
Ayahnya, seperti yang baru disadarinya setelah ia dewasa, ternyata lemah. Celia Benson tidak menginginkan anak dari pernikahan pertamanya berada dekat-dekat dengannya, dan dia acquiesced, menurut saja untuk meninggalkan Holly. Sampai hari ini Holly masih menyalahkan Celia.
Apakah Holly bahagia? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang sering dipikirkan Holly. Ia jelas mempunyai segala yang dibutuhkan wanita untuk hidup bahagia, jadi bagaimana mungkin ia tidak bahagia? Fakta bahwa mereka tidur di tempat tidur berukuran king, keduanya tidur di sisi ranjang masing-masing, dengan celah yang sangat luas di tengah-tengahnya, dan kekesalan Holly jika lengan atau kaki Marcus tanpa sengaja berada di sisi ranjangnya bukan berarti ia tidak bahagia, kan? Fakta bahwa mereka sudah sangat jarang berhubungan seks, dan kalaupun mereka melakukannya it’s perfunctory, tentunya tidak berarti ia tidak bahagia? Fakta bahwa Holly semakin lama semakin menarik diri dari kehidupannya sendiri, meninggalkan beberapa temannya yang dianggap Marcus ‘tidak cocok’, tidak berarti ia tidak bahagia.
Bukan begitu?
Pengalihan adalah cara yang paling baik untuk membuatnya melupakan fakta bahwa hidupnya tidaklah seperti yang diharapkannya. Anak-anaknya, misalnya. Rumahnya. Dan tentu saja, pekerjaan. Sebagai ilustrator paruh waktu untuk sebuah perusahaan kartu ucapan, Holly bisa mengunci dirinya berjam-jam di dalam studio di lantai paling atas di rumahnya dan menyibukkan diri dengan cat air melukis gadis kecil dengan anak anjing, hanya keluar dari reverie jika didengarnya Frauke dan anak-anak kembali dari taman. Kadang-kadang ia pergi ke studio perusahaan, tapi sebagian besar hanya untuk membuat dirinya tidak merasa terisolasi dari bekerja sendirian di rumah, untuk membuat dirinya merasa menjadi bagian dari perusahaan.
She hasn’t been in that much recently, jelas bukan karena ia lelah. Susah tidur sudah jadi masalah biasa, dan pertahanan Holly lenyap ketika ia terbangun tengah malam, jantungnya berdebar-debar karena ketakutan yang tidak bisa dihadapinya. Ia mendapat dirinya sering tertidur di siang hari, tapi berapa lama pun ia tertidur, ia tidak pernah merasa benar-benar segar.
Dan sekarang, duduk di meja dapur setelah tidur siang, Holly mendapati dirinya berpikir kapan terakhir kali ia merasa benar-benar bahagia. Saat bersekolah? Yah, rasanya tidak. Ia tidak terlalu senang saat di sekolah, tapi saat berada di luar sekolah, ketika ia, Olivia, Saffron, Paul, dan Tom bersama-sama, saat itulah ia merasa bahagia.
Dan sewaktu di universitas. Ia dan Tom, bersahabat erat, saling mencintai sejak pertama kali mereka bertemu sewaktu berusia lima belas tahun, tapi entah kenapa tidak pernah bisa bersama … Itulah saat-saat yang membahagiakan.
Holly tersenyum ketika dia terkenang saat-saat itu. Ia sudah berminggu-minggu tidak berbicara dengan Tom. Mereka terus berhubungan selama bertahun-tahun melalui telepon, lalu dwindling e-mail; tapi sejak Tom bertemu dengan Sarah yang sedang bekerja di kantornya untuk cabang London, kemudian pindah ke kota asal Sarah di Amerika untuk menikah dengannya, persahabatan mereka sepertinya tidak pernah sama lagi, walaupun Holly berpikir itu hanya sementara.
Olivia, seperti yang telah diketahuinya, bekerja untuk sebuah yayasan amal binatang. Sejak dulu hingga sekarang Holly menghabiskan sore hari untuk mencari-cari berita tentang teman-teman lamanya di Google, hence penemuannya terhadap foto Olivia sedang tersenyum sambil menggendong anak kucing di suatu acara amal. Dia kelihatan tidak berubah, selain dari rambutnya yang dulu sepanjang pinggang namun kini pendek. Holly mengirimnya e-mail, bertahun-tahun yang lalu, yang dibalas dengan hangat, tapi entah bagaimana mereka tidak pernah melanjutkannya.
Saffron, seperti halnya seseorang yang mempunyai nama Saffron, sekarang adalah aktris semi-terkenal yang mencoba untuk menjadi bintang film di Los Angeles. Dia sudah membintangi beberapa film Inggris berbiaya rendah, peran-peran kecil di beberapa film, dan mudah dikenali di jalan. Profilnya sering muncul di majalah-majalah dan surat kabar Inggris sebagai calon bintang besar; bagaimanapun, di usia yang ketiga puluh sembilan – walaupun Saffron tidak akan pernah mengakuinya – Holly tahu bahwa Saffron tidak akan menjadi bintang besar apapun di film-film Hollywood.
Holly sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Paul. Dia dan Tom selalu berhubungan. Sebenarnya Tom, selalu berhubungan dengan semua orang, albeit sporadically, tapi sejak dulu sampai sekarang dia mengirim Holly e-mail, membuatnya tertawa mendengar cerita-cerita tentang kehidupan Paul, si penakluk wanita.
Tom berkata, jika dia sudah menikah dengan Sarah, dia bisa menjalani kehidupannya vicariously through Paul, tapi Holly ingat bahwa Paul sudah menikah bertahun-tahun yang lalu, dengan seorang wanita cantik, seseorang yang sangat sukses, kalau Holly tidak salah ingat, dan Paul bersumpah kepada Tom bahwa wanita itu betul-betul telah merubahnya.
Holly teringat saat ia duduk di kursi salon untuk menata rambutnya, membalik-balik majalah Vogue, dan langsung berhenti ketika ia membuka sebuah halaman dan melihat Paul, sedang duduk santai di sofa Eames berwarna gandum, mengenakan Prada dari ujung rambut sampai ujung kaki, nampak seperti model pakaian pria, dengan seorang wanita pirang cantik yang duduk diantara kedua kakinya, dengan gaun Chloe membalut tubuhnya yang ramping, kepalanya bersandar di kaki Paul, rambutnya yang sehalus sutra menyentuh lengannya.
Mulut Holly ternganga ketika ia membaca berita mengenai pernikahan pasangan baru yang hebat ini: Paul Eddison, jurnalis dan pria paling popular di kota, dan Anna Johanssen, pendiri sekaligus direktur utama Fashionista.uk.net.
Tentu saja Tom sudah pernah bercerita bahwa Paul akan menikah, tapi ia tidak berpikir itu adalah hal penting. Ia memandangi foto itu, tercengang melihat betapa trendi-nya penampilan Paul sekarang, tapi ketika ia menelpon Tom dan menceritakan tentang itu, Tom hanya tertawa.
‘Itu tidak seperti yang terlihat,’ ujar Tom.
‘Tapi aku melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri,’ Holly bersikeras. ‘Dia kelihatan seperti model. Apa yang terjadi dengan permanent stubble karena dia merasa tidak perlu untuk bercukur? Rambut Paul selalu acak-acakan, dan terus terang Paul yang kukenal tidak tahu apa-apa soal Prada.’
‘Percayalah padaku,’ sambung Tom, ‘Paul masih seperti yang dulu. Aku adalah pengiring mempelai pria, dan aku harus berdiri di sisinya dengan pisau cukur dan menyediakan gel rambut untuk membuat penampilannya lebih baik. Dia masih bahagia dengan jeans bututnya dan T-shirt yang berlubang-lubang.’
‘Aku tidak yakin,’ kata Holly ragu. ‘Kelihatannya jelas sekali dia sudah berubah. Ngomong-ngomong bagaimana dengan istrinya? Dia kelihatannya menakutkan.’
Tom mendesah sedih. ‘Jangan cemburu begitu, Holly. Dia sangat menyenangkan. Kau pasti berpikir dia kelihatan menjengkelkan karena dia cantik, tapi dia tidak menjengkelkan. Dia sangat baik, dan sangat memuja Paul.’
‘Kau benar, kau benar. Aku hanya berasumsi karena dia sangat memukau. Paul yang beruntung. Pasangan yang beruntung.’ Holly mendesah. ‘Kelihatannya hidup mereka sangat sempurna dan glamour.’
‘Tidak juga,’ sahut Tom serius. ‘Vogue yang membuatnya seolah-olah demikian, tapi percayalah padaku, hidup mereka tidak seglamor yang terlihat, dan tidak ada kehidupan yang sempurna.’
‘Hidupku sempurna,’ tukas Holly wryly, dan Tom mendengus.
Dengan kenangan ini Holly bangkit berdiri dari kursi dapur dan menyalakan komputernya. Kenapa tidak mengirim e-mail kepada Tom sekarang? Sudah berapa lama ya, tujuh bulan? Delapan bulan? Bertahun-tahun mungkin, sejak kontak mereka yang terakhir, dan ia sangat merindukannya. Dia dan Marcus tidak pernah dekat, dan Sarah bukanlah orang yang disukai Holly, sehingga mereka mulai menjauh.
Bukannya Sarah tidak baik, dia selalu sangat ramah jika mereka berkumpul bersama pada kesempatan yang jarang terjadi saat Tom mengajak Sarah kembali ke Inggris untuk bertemu dengan keluarganya, tapi menurut Holly wanita itu sangat dingin, unyielding. Sopan tetapi tidak memberikan lebih banyak daripada yang seharusnya.
 * * *
Pertama kali Holly bertemu dengan Sarah setelah ia kembali dari Australia, dimana ia bertemu dengan Marcus, menikahinya setahun kemudian.
Ia tidak berbicara dengan Tom selama enam bulan ketika sedang pergi, tapi segera setelah ia kembali mereka mulai berhubungan lagi. Perlu waktu lama hingga Tom mulai menceritakan soal wanita Amerika cantik yang sedang bekerja di kantornya untuk cabang London.
‘Bagaimana dengan Yankie?’ Holly menggodanya, sekali lagi merasa nyaman dengan persahabatan mereka kini setelah ia menikah dengan Marcus, tidak percaya bahwa ia pernah mempunyai perasaan terhadap Tom, pernah menganggapnya sebagai lebih dari sekedar teman, bahkan setelah kejadian malam itu …
‘Dia sungguh luar biasa,’ kata Tom hesitantly, terus menerus mengatakan kepada Holly bahwa dia sangat mencintai Sarah, bahwa dia tidak sabar untuk mengenalkannya kepada Holly, bahwa mereka sebaiknya pergi berempat.
Jadi mereka pun keluar bersama. Keempatnya pergi ke kedai Pizza di Notting Hill suatu malam, Holly sangat bersemangat untuk bertemu dengan wanita yang sudah lama diceritakan Tom, yang sekarang menjadi kekasihnya, yang akan diajaknya untuk tinggal bersama.
Holly ingin menyukainya. Merasa yakin bahwa ia akan menyukainya, tapi ketika ia tersenyum dan menyambut Sarah dengan hangat, ia merasa Sarah nampak prim, proper, dan dingin.
‘Ya Tuhan, dia parah sekali,’ desisnya kepada Marcus ketika mereka berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang. ‘Apa yang dilihat Tom darinya?’
‘Dia cukup seksi in a standoffish kind of way,’ kata Marcus, seketika itu juga langsung menyesal sudah mengucapkannya ketika Holly melotot.
‘Seksi? Apanya yang seksi? Apa? Karena dia ketagihan pergi ke gym? Itukah sebabnya dia seksi? Sejauh yang kuperhatikan dia punya selera humor yang by-pass, ditambah lagi dia kelihatan sangat kaku. Ya Tuhan, apakah menurutmu dia pernah tersenyum? Membicarakan mengenai masalah gender sepanjang sore. Yang benar saja. Apakah wanita ini mengenal kata santai?’
‘Jadi kau menyukainya, kalau begitu?’ Marcus mengangkat alis matanya dan nyengir.
‘Apakah kau menyukainya?’ Pertanyaan pertama Tom ketika menelponnya dari kantor.
‘Menurutku dia hebat,’ Holly langsung berbohong.
‘Betul kan? Aku tahu kau pasti berpendapat begitu.’
‘Walaupun kelihatannya dia sangat serius,’ Holly ventured.
‘Benarkah? Kurasa itu hanya karena dia belum begitu mengenalmu, tapi kau akan segera mengenalnya lebih dekat setelah dia tinggal bersamaku.’
‘Bagaimana dengan kami?’ Holly penasaran untuk mengetahuinya. ‘Apakah dia menyukai kami?’
‘Oh ya,’ Tom langsung berbohong. ‘Sangat. Menurutnya kalian berdua hebat.’
Dan itulah the thin end of the wedge that lodged itself into persahabatan Holly dan Tom. Pada awalnya it was just a splinter, tapi semakin mereka berempat menghabiskan waktu bersama, mencoba menjalin persahabatan seperti halnya persahabatan antara Holly dan Tom, semakin besar splinter yang muncul hingga Holly dan Tom terpaksa sembunyi-sembunyi untuk makan siang bersama atau menelpon dari kantor. Itu adalah persahabatan yang terjalin karena sulitnya untuk berhubungan tapi semakin terasa berharga karenanya.
Bertahun-tahun yang lalu, Holly akan menelpon Tom di Massachussetts, berdoa semoga Sarah tidak menjawab telpon, sehingga ia tidak diharuskan untuk berbasa-basi. Pada akhirnya ia berhenti menelponnya.
* * *
Holly selalu menganggap Sarah sebagai Sarah Yang Menakutkan. Pernah tanpa sengaja julukan itu terlontar olehnya, ketika ia dan Tom sedang makan siang, dan Tom hampir saja menyemburkan minumannya, karena tertawa terbahak-bahak. Hal tersebut masih menjadi lelucon pribadi mereka, sesuatu yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan mereka.
Hey, orang asing!’ Holly mengetik di komputernya, keinginannya untuk berhubungan dengan Tom tiba-tba begitu kuat.
Sedang berpikir-pikir dimana / bagaimana kamu, teman. Aku sedang tidak bisa tidur belakangan ini dan seringkali teringat mengenai masa laluku dan baru kusadari sudah BERTAHUN-TAHUN sejak kita terakhir kali mengobrol. Bagaimana kabarmu? Bagaimana Sarah? Dan anak-anakmu yang manis? Anak-anakku semanis biasanya. Apakah kau berhubungan dengan yang lain? Aku membaca berita tentang Saffron waktu itu – dia mendapat peran kecil di film baru bersama Jim Carrey – bagaimana menurutmu? – mungkinkah ini kesempatan besar yang sudah kita tunggu-tunggu? (Kurasa sih tidak. Ouch!). Bagaimana kabar Paul? Sudah punya anak? Aku ingin sekali mendengar kabar darimu. Sebetulnya, aku ingin sekali bertemu denganmu – tidak bisakah kau melakukan perjalanan bisnis kesini? Kupikir kita bisa minum-minum sambil makan siang berlama-lama seperti dulu. Ngomong-ngomong, aku sedang memikirkanmu dan salam sayang selalu. Sampaikan salam sayangku untuk Sarah Yang Menakutkan. Big kiss, Holly xxxxx
Lama kemudian, Holly baru menyadari dimana Sarah berada tepat pada saat ia menekan tombol kirim di komputernya.
Sarah, pada saat itu, sedang berteriak dari ujung tangga menyuruh Violet untuk bergegas karena mereka akan terlambat ke sekolah. Violet berusia empat tahun, di tahun terakhirnya di preschool sebelum masuk TK, dan sangat lelet seperti siput, terutama ketika ibunya sedang terburu-buru.
‘Ayolah, sayang!’ teriak Sarah. ‘Hari ini kan acara jalan-jalan. Kau tidak boleh terlambat. Oh Violet!’ tukasnya, ketika Violet muncul di pintu kamarnya, telanjang, memegang threadbare pet elephant. ‘Aku menyuruhmu untuk berpakaian!’ bentak Sarah ketika Violet mulai menangis.
‘Oh Tuhan,’ gerutu Sarah. ‘Tolong berikan aku kesabaran pagi ini.’ Tahun lalu ia mengeluh kepada Tom bahwa setiap hari selalu seperti ini, selalu terburu-buru, selalu tidur terlambat dan sarapan terlalu lama, lupa menyiapkan pakaian anak-anak malam sebelumnya, tidak bisa menemukan kunci mobil.
Setiap hari pada tahun lalu ia terbangun dan bersumpah bahwa hari ini akan berbeda, hari ini ia akan menjadi ibu yang menyenangkan, baik, penyayang; dan pada saat mereka semua sudah berada dalam SUV di jalanan, ia kembali menjadi ibu yang stress, tukang berteriak, membenci dirinya sendiri karenanya, tapi entah bagaimana tidak bisa berhenti.
Sarah menarik napas dalam-dalam. Aku tidak akan berteriak kepada anak-anak pagi ini, ujarnya kepada dirinya sendiri. Jadi kenapa kalau kami sedikit terlambat? Ini kan hanya preschool, demi Tuhan. Tidak penting. Merasa lebih tenang, ia mengambil kamera dari laci lemari di kamar dan membawa anak-anak ke dalam mobil.
Sejam kemudian – banyak sekali ibu-ibu di parkiran mobil – Sarah sedang bersiap-siap untuk masuk ke mobil ketika Judy, salah satu ibu-ibu tersebut, terburu-buru menghampirinya, wajahnya tegang.
‘Apakah kau sudah dengar?’ ujarnya, matanya melebar karena ketakutan.
‘Apa, apa?’ Ibu-ibu yang lain clamor di sekelilingnya, yang lain menjauh ketika telpon genggam mereka berdering berkali-kali.
‘Serangan teroris lagi! Disini! Mereka mengebom Acela!’
Perhatian Sarah teralihkan ketika semua hal menjadi fuzzy. The Acela Express. Kereta super-cepat Amtrak yang menuju Northeast. Ini tidak mungkin benar. Tom berada di Acela.
‘Tidak! Apa yang terjadi? Apakah buruk sekali?’ terdengar suara-suara ketakutan, kemudian erangan-erangan seperti, ‘Ya Tuhan, jangan lagi.’
‘Entahlah,’ kata Judy ketika salah satu ibu-ibu saling berteriak. ‘Mayat dimana-mana. Kejadiannya di luar New York. Ya Tuhan, we’re bound to know someone.’ Dan semua mata tiba-tiba tertuju ke Sarah, yang terduduk di aspal parkiran mobil itu, kakinya mati rasa.
‘Sarah?’ Sebuah suara lembut terdengar di telinganya. ‘Sarah, kau baik-baik saja?’
Tapi Sarah tidak bisa bicara. Hal semacam ini seharusnya tidak terjadi terhadap orang-orang seperti ia dan Tom, tapi kelihatannya sudah terjadi.
2
Holly Macintosh terbangun pagi itu, seperti halnya setiap pagi ia terbangun setelah mendengar berita itu, dan merasakan beban duka yang teramat sangat di dalam dadanya.
Yang bisa dilakukannya belakangan ini hanyalah bangun dari tempat tidurnya, pergi ke dapur untuk menuangkan secangkir kopi untuk dirinya dengan tangan gemetar, duduk di meja dapur dipenuhi dengan baying-bayang kenangan, segala hal yang belum pernah diucapkan, atau hal-hal yang mungkin terjadi dan merindukan Tom – Tom yang bersamanya sejak kecil hingga mereka dewasa dan Tom yang tidak akan pernah dilihatnya lagi – teramat sangat.
Ia menyiapkan sarapan, untuk anak-anaknya. Marcus sangat baik. Pada malam ia mendengar berita itu Holly mendapati dirinya menangis hebat dan Marcus memeluknya, anak-anak memandangnya dari meja dapur, mata kecil mereka kelihatan ketakutan.
‘Kenapa Mummy menangis?’ Tanya Oliver.
‘Mummy sedih karena ia kehilangan salah seorang temannya,’ kata Marcus pelan.
‘Apakah aku perlu membantu untuk menemukannya?’ ujar Daisy setelah terdiam sejenak, dan Holly tersenyum sedikit diantara isakan tangisnya.
Tiga hari sebelumnya, Holly melihat liputan berita di tv bersama Marcus. Seratus empat puluh tujuh orang mati. Ia telah membicarakan mengenai kejadian ini dengan teman-temannya, betapa tragisnya, betapa mereka seperti berada di dunia lain, dan bertanya-tanya apakah hal seperti ini akan berakhir.
Dan pagi harinya di internet, ia menemukan daftar nama-nama korban dari website BBC. Apakah ada nama yang kukenal, pikirnya tiba-tiba. Ia tahu rasanya tidak mungkin, dan aneh, karena tragedy semacam itu telah dirasakannya sejak kecil – beberapa pengeboman IRA, semuanya berada dekat dengan tempat tinggalnya – dan tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa seseorang yang dikenalnya terlibat, tapi kali ini ia meng-klik sebuah artikel dan mulai membacanya.
Nama-nama. Biografi singkat. Seorang bankir dari Islington, berada di New York untuk kepentingan bisnis; seorang ibu dan anak perempuannya dari Derbyshire, berada di sana untuk berlibur; Tom Fitzgerald, ahli software …
Holly terus membaca, kemudian matanya kembali ke nama itu, dan ia harus membacanya berulang kali. Tom Fitzgerald. Ahli software. Tom Fitzgerald. Tom.
Tom.
Tapi ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin? Tragedi ini terjadi di New York. Tom berada di Boston. Tom pasti baik-baik saja.
Kebingungan melandanya ketika ia mengangkat gagang telpon untuk menelpon Tom di kantornya, tapi mungkin sudah malam disana, lalu ditekannya nomor telepon rumahnya.
‘Hi, ini Tom, Sarah, Violet, dan Dustin,’ terdengar suara Sarah di telpon, lending this phone call a normality yang membuat Holly berpikir bahwa ia hanya membayangkannya saja; ia tentu saja hanya membayangkannya karena bagaimana mungkin mesin penjawabnya terdengar sangat normal, bagaimana mungkin bunyi pesannya masih sama jika sesuatu yang mengerikan terjadi pada Tom?
Dan ia kembali melihat namanya di layer computer.
Tom Fitzgerald.
‘Oh, hi. Sarah, Tom. Ini Holly.’ Ia berbicara dengan haltingly, tidak yakin, mengetik nama Tom di Google sambil berbicara, mencoba mencari-cari informasi lain. ‘Um, aku hanya … aku sedang membaca … God. Sory. Tapi bisakah kau menelponku? Tolong? Aku …’ Tidak ada lagi yang perlu diucapkan. Artikel lain telah muncul. Tom Fitzgerald, direktur utama Synopac, sedang berada dalam Acela Express yang malang itu dalam perjalanan bisnis …
Telponnya perlahan-lahan diletakkan kembali.
‘Holly?’ Frauke telah muncul di dalam ruangan, mengamati tubuh Holly yang bergetar. ‘Apakah semuanya baik-baik saja?’
Dan Holly menoleh kepadanya, stricken. Wajahnya dipenuhi duka dan shock, dan ketika ia mencoba untuk berbicara, tidak ada kalimat yang keluar.
‘Ini tentang Tom,’ akhirnya ia berbisik. ‘Dia teman lamaku. Berada di kereta …’ Dan ia berhenti bicara ketika tangisnya pecah, jatuh ke dalam pelukan Frauke yang terburu-buru menghampirinya untuk menenangkannya.
Di usianya yang ketiga puluh sembilan, mungkin tidak terlalu mengherankan bahwa Holly bukanlah orang yang sering berduka. Ia sudah melewati berbagai peristiwa – beberapa orang kerabatnya yang meninggal – dan Holly tentu saja sedih pada saat itu, tapi selalu ada pikiran bahwa semua ini adalah hal yang alami. Orang-orang yang kau cintai akan semakin tua, kadang-kadang mereka sakit sehingga meninggal lebih awal dari seharusnya.
Kau bisa menerima kenyataan bahwa ini adalah giliran mereka atau, kalaupun belum giliran mereka, paling tidak mereka mempunyai kehidupan yang menyenangkan. Mereka sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan selama berada di bumi; dan mereka meninggalkan orang-orang yang mencintai mereka dengan kenangan manis albeit beberapa orang berharap untuk dapat mengucapkan sesuatu yang belum pernah diucapkan.
Tapi yang ini? Ini adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Ini adalah duka yang dalam, menyengat, mencabik-cabik, dan sangat parah. Ini bukan hanya emosional. Ini adalah psikis. Duka yang selalu bersama Holly sepanjang waktu. Duka ini membangunkannya di pagi hari dan bersemayam dalam dadanya, ikut tenggelam bersamanya ketika ia jatuh terduduk dan terisak disamping mejanya, membuat mata dan mulutnya membentuk ekspresi kesedihan yang mendalam sehingga orang-orang yang berpapasan dengannya di jalanan dan di pertokoan bertanya kepadanya apakah ia baik-baik saja, kemudian harus hover dengan canggung ketika Holly mengangguk, air mata mengalir deras di pipinya.
Ia mengambil waktu seminggu untuk libur, setelah kembali ke studio at Jubilations feeling numb, tapi berpikir ia akan bisa mengatasinya, berpikir bahwa ia sebaiknya dikelilingi oleh banyak orang, untuk berbincang-bincang, bersikap seolah-olah segala sesuatunya normal.
Duduk di ruang rapat bersama bagian departemen pemasaran, seseorang menanyakan pendapat Holly, seseorang yang bekerja di gedung yang berbeda dan mendengar bahwa Holly baru saja kehilangan seseorang, tapi tidak mengerti mengapa rasanya sangat berbeda dengan kehilangan seorang kakek misalnya.
‘Kudengar kau mengenal seseorang yang meninggal di kereta,’ pria itu berkata nonchalantly. ‘Kejadian yang mengerikan, ya?’ Dia menggelengkan kepalanya, bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaan – Holly menunjukkan gambar-gamabr gajahnya untuk kartu ucapan selamat ulang tahun produksi mereka yang baru. ‘Sungguh sangat disayangkan. Aku tidak percaya dengan segala yang terjadi di dunia sekarang ini.’
Dan Holly dengan segera mengulang kejadian meledaknya kereta itu di dalam kepalanya (seorang turis telah merekam saat-saat itu; grainy, buram, keretanya nampak dari kejauhan, tapi ini satu-satunya rekaman yang ada) dan menyaksikan saat-saat kematian Tom seperti yang dilihatnya di televisi, mencoba membayangkan apakah dia merasakannya, apakah kejadiannya berlangsung cepat, apakah dia terbakar sampai mati atau hancur berkeping-keping karena bom.
Holly menoleh kepada pria itu, dan air matanya mulai tumpah lagi.
‘Maafkan saya,’ katanya, ‘Aku hanya tidak mengerti. Aku tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi pada Tom. Ini rasanya tidak masuk akal bagiku …’ Dan bahunya mulai gemetar, tubuhnya ikut bergetar oleh isak tangis ketika rekan-rekan kerjanya bertukar pandang dengan gugup, tak satupun dari mereka tahu apa yang harus diucapkan dengan kesedihan yang terang-terangan ditunjukkan ini, tak satupun dari mereka yang tahu bagaimana menenangkannya, tapi mereka semua ingin kembali ke zona yang nyaman, mereka ingin Holly yang dulu kembali.
‘Aku akan membawanya keluar,’ ujar Simone, menuntun Holly keluar melewati pintu menuju dapur kecil, melingkarkan lengannya di sekeliling bahu Holly dan membiarkannya menangis.
‘Kau perlu libur,’ kata Simone ketika Holly selesai. ‘Berduka adalah proses yang harus kau lewati, dan jelas sekali kau seharusnya tidak berada disini. Kau sudah bekerja keras untuk proyek gajah itu dan kami tidak terburu-buru. Santai saja. Masih bisa menunggu sebulan, paling tidak.’ Holly mengangguk diam dan menunduk menatap tangannya, tidak sanggup menatap mata Simone.
Hal seperti ini seharusnya tidak menimpa orang-orang seperti aku dan Tom, pikirnya, ketika ia membereskan barang-barangnya dan memutuskan untuk pulang ke rumah naik taksi. Bukan begini seharusnya hidupku.
Ini seharusnya tidak terjadi.
Tapi ia tidak bisa hanya duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa, membayangkan semuanya, cerita-cerita seram tentang bagaimana Tom meninggal, bagaimana rasanya. Apakah dia merasakannya, apakah kejadiannya berlangsung cepat?
Apakah yang lain tahu? Geng mereka di sekolah, orang-orang yang sudah bertahun-tahun tidak bicara dengannya, tapi tiba-tiba saja sama dekatnya seperti saat mereka menyelesaikan ujian tingkat A mereka, teman-teman lama yang sekarang sangat ingin ditemuinya.
Holly menelpon Paul terlebih dahulu. Karena istrinya sangat terkenal, dia sangat mudah dilacak. Telpon untuk Anna Johanssen di Fashionista, meninggalkan sebuah pesan penting kepada asistennya agar Paul menelpon, dan dia menelpon sore harinya.
‘Holly Mac!’ tukasnya ketika dia menelpon. ‘Sungguh senang mendengar kabar darimu, betul-betul kejutan besar!’
‘Yah, sebetulnya –‘ Holly terdiam. Ia belum tahu apa yang harus diucapkanya, kata yang tepat untuk digunakan. Beberapa kalimat terlintas di kepalanya tapi kedengarannya sangat klise, sangat dibuat-buat sehingga ia tahu bahwa yang paling baik adalah dengan menelpon dulu dan semoga saja kalimat yang benar akan muncul.
Tapi tentu saja tidak ada kata yang tepat untuk menyampaikan bahwa seseorang yang sama-sama kalian cintai telah meninggal. Holly telah menumpahkan lebih banyak air mata beberapa hari terakhir ini daripada yang pernah dilakukannya. Kepalanya terasa woolen, ia merasa lelah karena constant thump of headache karena terlalu banyak menangis. Dan sekarang, sekarang saat ia berbicara dengan Paul di telepon, Paul yang ia tahu persis masih sering berhubungan dengan Tom, Paul yang masih berteman baik dengan Tom, Holly tidak percaya bahwa ia yang akan menyampaikan berita ini kepada Paul.
Ia setengah berharap Paul akan tahu. Tapi Paul tidak tahu, ia adalah orang pertama yang memberitahunya.
‘Ini bukan kabar yang bagus, sayangnya,’ kata Holly, suaranya melemah. ‘Ini tentang Tom.’ Ia menunggu apakah Paul mungkin sudah tahu.
‘Tom?’
‘Ya. Kau tahu kan dia dan Sarah tinggal di Boston. Dia sedang dalam perjalanan bisnis menuju New York, dan dia berada dalam kereta yang dibom …’ Suaranya remarkably tenang. Ia mengira akan menangis lagi, tapi jika duka adalah sebuah proses, berarti mungkin ini adalah tahap pertama dari proses tersebut, ketika kau sanggup menghadapi berita terburuk dalam hidupmu, dan kau sanggup mengabarkannya with pathos dan kesedihan tanpa harus menangis terisak-isak.
Terdengar suara tersentak kaget dan keheningan yang panjang menyusul.
‘Maksudmu dia mati?’ suara Paul yang shock terdengar di telepon.
‘Ya. Tom sudah mati.’
Hening lagi, lebih lama. Kemudian terdengar bisikan. ‘Aku tidak percaya.’ Terdengar bunyi muffled ketika Paul menjauh dari telepon. Ketika dia kembali, suaranya mulai bergetar.
‘Aku harus menelponmu lagi,’ katanya, dan menutup telepon.
Sejam kemudian dia menelpon kembali.
‘Aku tidak tahu di mana pemakamannya,’ kata Holly.
‘Itu hanya untuk keluarga saja,’ Paul memberitahunya. ‘Saffron sudah bicara dengan ayah Tom. Dia tahu banyak orang yang ingin dating, jadi mereka memutuskan untuk mengadakan dua memorial services. Yang satu kurasa di Amerika, dan yang satunya diadakan di gereja disini yang terbuka untuk semuanya, karena acara pemakamannya sendiri sangat pribadi. Jadi service tanggal tiga puluh. Kurasa kita semua bisa pergi bersama-sama. Aku sudah bicara dengan Olivia dan Saffron akan terbang kesini. Aku tahu ini kedengarannya gila, bahwa kita sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi aku hanya ingin kita semua berkumpul lagi. Kupikir mungkin kita bisa makan malam bersama sebelumnya …’
‘Ya,’ kata Holly pelan. ‘Itu ide yang bagus. Aku ingin kalian semua dating kesini..’
‘Kalau begitu kami akan dating,’ kata Paul. ‘Dua puluh sembilan Oktober?’
‘Dua puluh sembilan Oktober,’ Holly mengulangi. ‘Sampai ketemu kalau begitu.’
Paul menutup telepon in the cradle, tidak memperhatikan how much it is clattering, bahwa tangannya gemetar tidak terkendali.
Ia berjalan menuju sofa, numb, tidak memperhatikan bahwa ceret masih berbunyi diatas kompor, bahwa ia belum menyimpan tulisan yang sedang dikerjakannya ketika dia menelepon Holly, bahwa mungkin saja karena komputernya baru saja dipakainya untuk main game, ia bisa kehilangan tulisan sialan itu, tapi ia tidak melakukan apa-apa selain duduk di sofa dan menatap langit-langit.
Pikirannya campur-aduk. Telepon berbunyi dan ia tidak bisa bergerak, tidak sanggup mengangkatnya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya adalah menelpon yang lain, ia harus melakukannya sebelum ia menelpon Holly kembali. Tapi kemudian didengarnya suara Anna yang sedang meninggalkan pesan, dan Paul terburu-buru mengangkat telpon, perasaan nyaman mendengar suara wanita yang dicintainya membawanya kembali ke dunia nyata selama beberapa saat.
‘Hey!’ ujar Anna ketika dia menjawab telpon. ‘Kau dimana? Kukira kau akan berada di mejamu sepanjang sore. Aku menerima pesanmu. Apakah semua baik-baik saja?’
‘Aku …’ Ia tidak tahu bagaimana mengatakannya, bagaimana membuat supaya mulutnya bisa berbicara.
Keheningan melanda dan Anna menarik napas tajam, tiba-tiba saja sadar bahwa ada sesuatu yang sangat sangat salah.
Ada apa, Paul? Ada masalah apa? Apa yang terjadi?’
‘Ini soal Tom,’ ujarnya, suaranya flatter dan darker daripada yang pernah didengar Anna. ‘Dia sedang berada dalam kereta yang meledak di Amerika. Dia mati.’
Anna kembali menarik napas tajam, dan kemudian nada suaranya berubah. ‘Tetap di tempatmu,’ tukasnya. ‘Aku akan pulang sekarang.’
Anna melangkah masuk dan menemukan Paul berada di tempat yang sama setelah mereka berbicara di telepon. Dia duduk di sofa, masih mengenakan boxer-nya dan T-shirt yang dipakainya dari semalam, mandi kelihatannya hal terakhir yang ada di pikirannya, dan dia sedang menatap kosong ke dinding.
Dia menoleh perlahan ketika Anna menghampirinya dengan terburu-buru, dan ia tidak bisa bicara melihat ekspresi shock dan terluka di matanya. Mereka saling berpandangan ketika Anna duduk di sampingnya dan memeluknya, dan selama beberapa saat Paul hanya menyandarkan kepalanya di bahunya dan Anna membelai punggungnya, terlalu sedih untuk menangis, terlalu sedih untuk melakukan apa pun kecuali untuk tetap berada disini, di tempat yang membuatnya merasa aman dan hangat.
Sekolah khusus perempuan dimana Holly, Saffron, dan Olivia bertemu terletak di bukit yang tinggi di salah satu London’s leafier suburbs.
St Catherine Private School For Girls tertera di papan yang terletak diluar. Walaupun kau sedang lewat sekita pukul 3.20 pm pada hari sekolah, kau tidak akan melihat tanda-tanda adanya kerumunan gadis-gadis, besar dan kecil, mengenakan seragam yang sama, rok lipit warna burgundy dan kemeja putih, anak-anak yang lebih kecil memakai topi dan scarf, yang lebih tua, juga yang lebih cool, berpikir bahwa tidak ada yang melihat mereka, sprawling on the bench dibawah gazebo di sudut, dengan rokok di tangan sambil menatap para ibu yang tidak setuju dengan ekspresi menantang, resplendent in their teenage truculence.
Nestled di lembah og the leafy suburbs, sedikit lebih jauh dari jalanan utama, adalah St Joseph private school for boys, kebalikan dari St Catherine, tempat St Catherine male counterparts, recipients of thousands of schoolgirl crushes selama bertahun-tahun.
Sekolah putrid St Catherine dan sekolah putra St Joseph ditakdirkan untuk bersama. Beberapa gadis-gadis bandel pergi dengan anak-anak dari Kingsgate, yang lainnya dengan Killburn, tapi apa gunanya bepergian begitu jauh jika semua choral societies, all the fairs, semua pesta dan acara-acara social diadakan diantara St Catherine dan St Joseph?
Bahkan pernah ada rumor bahwa Mrs Lederer, kepala sekolah St Catherine yang mempunyai steely-eyed, tegas namun adil, pernah ada affair dengan Mr Foster-Steven, kepala sekolah St Joseph yang mempunyai steely-eyed, tegas namun adil, tapi tidak ada seorang pun yang bisa membuktikannya, walaupun Adam Buckmaster yang berada di lantai lima bersumpah bahwa dia pernah melihat mereka berciuman setelah acara pertunjukan gabungan sekolah yang bertema The Importance of Being Earnest.
Holly termasuk yang terlambat untuk urusan laki-laki. Gadis-gadis lain di kelasnya sepertinya sudah mulai bergaul dengan mereka sejak usia dua belas, tapi Holly, terlepas sewaktu ia naksir Danny Osmond ketika ia masih kecil, tidak betul-betul paham kenapa gadis-gadis lain meributkan soal laki-laki.. Olivia, sahabatnya sejak mereka di bangku senior, sama persis dengannya; dan keduanya agak mencemaskan Saffron, yang selalu bersikap seperti mereka tapi dalam enam bulan terakhir mulai sering mengunjungi pertokoan di Kensington untuk mencari barang-barang keren, model sepatu yang aneh, dan menjahit rok sekolahnya dengan sangat ketat sehingga tidak lagi seperti hobble skirt melainkan seperti straitjacket.
Saffron, walaupun masih berteman baik dengan mereka, mulai sering keluar dengan kelompok yang memakai makeup, sudah punya pacar, dan setiap pulang sekolah berkumpul dengan geng dari St Joseph, biasanya pergi ke rumah seseorang sekedar untuk bermain putar-botol atau hanya mendengarkan musik – Madness, Police, David Bowie – di kamar tidur salah seorang dari mereka, sementara si ibu yang tidak peduli hanya duduk di meja dapur dengan secangkir teh dan sebatang rokok, asik mengobrol di telpon dengan temannya, tidak memperhatikan dan mungkin tidak peduli apa yang dilakukan delapan orang remaja laki-laki dan perempuan di dalam kamar yang terkunci.
Kemudian tibalah ulang tahun Saffron. Ulang tahunnya yang kelima belas. Orang tuanya telah mengizinkannya untuk menyewa sebuah klub untuk anak muda, dan dia sangat ingin mengadakan pesta paling hebat yang pernah dihadiri oleh semua orang. Seorang kakak laki-laki temannya mengurus musik, teman laki-lakinya yang lain akan menjadi bouncers karena sudah ada tiga pesta tahun itu di klub tersebut dan remaja-remaja dari seluruh wilayah akan dating, tidak peduli mereka diundang atau tidak, dan beberapa orang lainnya agak diluar kendali. (Tidak ada yang mengalahkan kisah Matt Elliott, yang mengadakan pesta saat orang tuanya tidak di rumah, dan para gatecrashers membakar tangga. Matt Elliott tidak akan dating ke pesta ulang tahun Saffron – dia dikurung selama setahun, dan ini adalah Inggris, dimana tidak ada orang yang betul-betul mengerti apa itu dikurung).
Holly dan Olivia mengenakan pakaian yang hampir sama berupa rok abu-abu, sweatshirt warna pink model bahu terbuka dan kaus kaki garis-garis dengan – oh, terima kasih, Mum! Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Mum! – sepatu jazz. Sepatu jazz asli dari Pineapple Dance Studios yang diinginkan semua orang tapi tidak ada yang punya.
Holly pergi ke rumah Olivia, rencananya untuk menginap, dan mereka saling mengeriting rambut – bukan untuk menarik perhatian laki-laki, tahu kan, tapi dengan harapan untuk bisa terlihat seperti Jennifer Beals di Flashdance.
‘Kau kelihatan luar biasa,’ desah Olivia kepada Holly setelah dia selesai menata rambutnya dengan alat pengeriting milik ibunya, belum termasuk membakar tangannya tanpa sengaja hingga tiga kali pada saat dia mencoba mengeriting rambut Holly tanpa harus menyentuh alat itu.
‘Kau juga!’ Holly menyeringai, dan mereka memasang soundtrack film tersebut dan melatih gerakan dansa mereka mengikuti Irene Cara di film Fame di depan kaca besar di dinding kamar Olivia.
Ruangan tempat pesta di klub itu sangat gelap sehingga hampir tidak mungkin untuk melihat apapun. Seperti yang telah dijanjikan, Saffron memasang lampu disko, yang berputar pelan – beberapa cahaya lampu berbentuk persegi berputar mengelilingi ruangan, menerangi kerumunan orang yang berkumpul di sudut. Di satu sudut adalah kelompok gadis-gadis menjengkelkan. Di sudut yang lain, gabungan antara kelompok laki-laki dan perempuan yang bertemu seusai sekolah, masing-masing dari mereka sudah punya pacar, beberapa yang lain mulai ‘getting off’ dengan yang lainnya, tidak perlu menunggu lagu yang mendayu-dayu. Duran Duran sudah cukup romantis.
The bouncers ternyata tidak efektif. Kelihatannya semua anak St Joseph yang dibawah kelas lima muncul, sebagian besar tanpa undangan. Dan berhasil masuk. Mereka berdiri di sisi lain ruangan, mengamati gadis-gadis, menampilkan kesan macho, sekelompok laki-laki strutting around menunjukkan bulu mereka kepada gadis-gadis yang cekikikan.
‘Apakah kau mau dansa?’ Holly sedang duduk bersama Olivia, ia mendongak dan melihat sepasang mata coklat yang menawan.
‘Tentu,’ sahut Holly dengan canggung, menoleh kepada Olivia sambil nyengir dan mengangkat bahu seolah-olah berkata, Mau bagaimana lagi? Self-consciously ia mengikuti laki-laki itu ke lantai dansa, lega karena ruangan sangat gelap, sadar bahwa setiap pasang mata sedang melihat mereka, bahwa ia akan menjadi pusat perhatian besok, dan akhirnya ia bisa sedikit mengerti rasanya menjadi perempuan,menjadi sesuatu yang menarik perhatian laki-laki, dan betapa menyenangkannya perasaan seperti itu.
‘Aku Tom,’ ujar laki-laki itu, berdansa di depannya.
‘Aku Holly,’ sahutnya, berganti kaki, berharap semoga ia kelihatan cool.
‘Aku tahu.’ Tom nyengir. ‘Aku sudah pernah melihatmu sebelumnya.’
‘Oh. Okay.’ Diam selama beberapa detik. ‘Dimana?’
‘Hanya disekitar sini.’
Mereka berdansa mengikuti Adam Ant, Michael Jackson, dan Human League. Kemudian ‘Every Breath You Take’ dari The Police mengalun. Tom mengangkat alisnya dan merentangkan lengannya, dan Holly berada dalam pelukannya.
Mereka berdiri berduaan, hampir tidak bergerak, hanya bergeser perlahan dari satu sisi ke sisi yang lain, dan Holly merasa tidak pernah merasa begitu nyaman seperti saat ini, berada dalam pelukan seseorang, merebahkan kepalanya di bahu seseorang.
Menikmati Culture Club, kemudian Lionel Ritchie, lalu Christopher Cross, Holly dan Tom tidak bergerak. Holly merasa seolah-olah ia sudah lama menunggu saat-saat seperti ini, dan saat berada dalam keremangan ruangan itu ia mengerti apa yang diributkan oleh orang-orang. Ia mengerti tentang cinta. Dan di penghujung malam itu ia tahu bahwa Tom Fitzgerald adalah jodohnya.
Ketika Tom meminta nomor teleponnya, Holly merasa kebahagiaan yang meluap-luap melandanya. Dia menelpon keesokan harinya, dan mereka mengobrol selama satu setengah jam. Satu setengah jam! Holly dengan geli melaporkan setiap kalimat dalam percakapan mereka kepada Olivia, yang merasa tertinggal dan tidak betul-betul paham apa yang sedang diributkannya. Jadi Holly beralih ke Saffron, dan segera saja Holly dan Saffron mengobrol di telepon setiap malam membicarakan tentang Tom maupun temannya, Paul, yang sangat disukai Saffron.
Holly tidak pernah merasa aneh karena ia dan Tom tidak pernah berciuman. Ia tahu itu hanya soal waktu. Yang mereka lakukan hanyalah mengobrol. Dan tertawa. Mereka berdua, dan bersama kelompok mereka yang lain, selalu keluar setiap akhir pecan. Pada hari Sabtu sore mereka akan naik kereta keluar kota. Salah satu orang tua mereka akan mengantar mereka sampai ke teater. Mereka kemudian bertemu di taman dan hanya duduk di ayunan selama berjam-jam, perpaduan antara orang dewasa dan remaja yang penasaran, mencoba bersikap seolah-olah lebih tua dari usia mereka, tapi masih cukup muda untuk tertawa terbahak-bahak ketika mereka menaiki papan luncur untuk anak yang jauh lebih kecil.
Tiba-tiba saja ketertarikan Holly kepada Tom dissipated. Daniel bergabung dengan kelompok mereka – lebih tinggi, lebih bersemangat, lebih lucu dari Tom – dan minggu-minggu berikutnya Holly dan Daniel terus-menerus bersandar di setiap dinding yang tersedia, berciuman selama berjam-jam. Holly, berbaring diantara kedua kaki Daniel di sofa pada sebuah acara pesta hari Sabtu malam, merasa sangat dewasa, sangat sophisticated.
Tom menjadi sahabatnya. Ketika Daniel meninggalkan Holly demi Lisa, salah satu gadis paling menjengkelkan di kelasnya, Tom-lah yang menenangkan Holly, mengakui bahwa dia sudah menyukai Holly sejak mereka pertama kali bertemu tapi sekarang dia merasa lega karena mereka hanya berteman, terutama sejak dia mulai sering berkencan dengan Isabelle belakangan ini.
Dan Holly, yang sudah betul-betul melupakan Tom, mendapati dirinya kembali tertarik kepadanya. Kecuali pada saat dia dan Isabelle berpisah, ia sedang berkencan dengan Dom Parks, lalu ia dan Tom menjauh selama beberapa saat – dia dan Dom Parks bergaul dengan orang-orang yang sangat berbeda. Pada saat Holly dan Tom kembali bersahabat, ujian level A was looming dan keduanya sama-sama menyadari bahwa hubungan mereka tidak lebih dari teman.
Olivia juga terlambat dalam urusan asmara. Dia lebih tertarik kepada binatang daripada laki-laki, tapi pada akhirnya, di semester yang kelima, ketika mereka sedang bersiap-siap untuk menghadapi ujian level O, dia tertarik kepada mentor matematikanya. Ben adalah mahasiswa tahun pertama di UCL, hanya tiga tahun lebih tua dari Olivia, tapi seorang jenius dalam hal matematika yang ibunya berteman dengan ibu Olivia, hence mengatur les yang awalnya membuat Olivia sangat kesal.
Sangat kesal hingga ia bertemu dengan Ben. Pendiam. Rajin belajar. Jantan. Olivia akhirnya menyadari apa yang begitu sering dibicarakan oleh orang-orang, dan selama dua tahun berikutnya ia menyimpan perasaan itu di dalam hatinya, berfantasi bahwa Ben akan mengangkat wajahnya dari kalkulatornya dan mengakui bahwa dia jatuh cinta dengan Olivia, memimpikan suatu hari dimana Ben akan memandangnya lebih dari sekedar murid matematika level O yang diajarnya.
Hari yang dinantikan itu akhirnya tiba saat semester enam. Ia telah melewati ujian level O matematikanya dengan nilai B dan kehabisan alasan untuk menemui Ben. Suatu hari ibunya mengatakan bahwa ia harus mampir untuk menemui ibu Ben dan bahwa Ben sedang libur dari kampusnya, dan Olivia langsung melompat ke mobil, putus asa ingin menunjukkan kepada Ben bahwa dia sudah dewasa, sudah banyak berubah, dan betapa sempurnanya ia untuk dirinya.
Dan dia memang memperhatikan. Memperhatikan bahwa ini adalah wanita muda yang berdiri dengan canggung di lorong rumahnya dan bukan anak kecil yang dilihatnya dua tahun sebelumnya. Dia memperhatikan dan menyukainya, dan ketika mereka pergi ke den untuk mengobrol tentang sekolah dan universitas, Ben sangat terkejut mendapati betapa mudahnya Olivia untuk diajak bicara, dan betapa manisnya ia.
Ben mengajak Olivia nonton film akhir pekan itu kemudian pergi ke Queen’s Arm untuk minum-minum malam berikutnya. Olivia mengundangnya ke sebuah pesta akhir pekan itu, agak apprehensive membayangkan Ben akan bertemu dengan teman-temannya, takut dia akan menganggap mereka terlalu muda, tapi setelah dia mengatakan bahwa dia menyukai mereka semua, dia mencium Olivia, dan Olivia menghadapi ujian level A-nya dengan kebahagiaan yang meluap-luap.
Mereka semua belajar bersama-sama untuk ujian level A mereka. Di perpustakaan setempat, Holly, Olivia, Saffron, Tom, Paul, dan kadang-kadang beberapa anak lain, Ian atau Pete, mereka akan menempati meja diatas, membuka buku-buku mereka dan belajar dengan berbisik-bisik, baru turun ke bawah pagi harinya, mengunjungi kedai kopi Itali untuk minum cappuccino dan merokok.
Sudah dua puluh tahun yang lalu tapi Holly masih mengingatnya seolah-olah semua ini baru terjadi kemarin. Ia ingat pertama kali mereka bertemu, ketika Holly sadar bahwa ia mencintai Tom dan tahu tidak akan pernah ada Tom yang lain, dan tahu bahwa Tom dan Paul mempunyai jaket yang sama persis dengan warna yang berbeda. Sebetulnya mereka membelinya bersama-sama pada suatu hari Minggu pagi di Camden Market, mereka berlima sedang menuju keramaian di Chalk Farm Road, cool, percaya diri, tidak terpisahkan.
Jaket Tom berwarna biru laut. Jaket Paul berwarna hijau. Jantung Holly seringkali berdebar ketika ia melihat jaket Tom. Walaupun hanya sekilas, namun akan membuat hatinya soaring, membuat senyuman di wajahnya bisa bertahan selama beberapa minggu.
Holly ingat Tom seringkali tersenyum kepadanya dari balik mejanya ketika mereka belajar di perpustakaan. Kadang-kadang ia begitu tenggelam dalam pelajarannya, kemudian ia mendongak dan matanya beradu dengan mata Tom dan dia tersenyum; dan meskipun begitu, meskpiun ia tahu ia sudah melupakan perasaannya kepada Tom, tahu bahwa Tom mungkin bukan untuknya, tidak lagi menghabiskan waktu dengan menangis di tempat tidurnya sambil mengulang-ulang soundtrack dari Endless Love, ia tahu bahwa apapun yang dimiliki olehnya dan Tom adalah sesuatu yang istimewa.
Dan mungkin, suatu saat di masa yang akan datang, mereka bisa bersama-sama kembali.
Holly menebarkan foto-foto di lantai dan mulai menyusunnya, berpindah dari satu foto saat bersekolah, kemudian foto-foto Tom, ingin melihat wajahnya lagi, walaupun hanya lewat foto.
Holly menarik selembar foto dari tumpukan. Foto Tom dan seorang perempuan. Holly bahkan tidak ingat siapa perempuan ini, yang diingatnya hanyalah ia tidak terlalu menyukainya. Holly sedang berada di flat Tom ketika ia melihat foto itu; saat itu adalah masa ketika ia masih mencintai Tom, tapi pelan-pelan ia mulai tidak lagi mengharapkan sesuatu akan terjadi. Ia melihat foto itu dan meminta kepada Tom agar ia boleh mengambilnya karena Tom nampak sangat tampan, tersenyum di samping seorang gadis yang tidak disukainya. Tom hampir kelihatan seperti model, dan Holly merasa sangat bangga karena mengenalnya.
Tom tertawa terbahak-bahak ketika Holly berkata ia akan mengambilnya. ‘Aku akan memotong gambar dia dan menggantikannya denganku,’ kata Holly sambil tersenyum nakal, dan Tom menggelengkan kepalanya seolah-olah dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap Holly, dan memang dia tidak tahu. Holly adalah sosok yang lucu, delightful, hangat, bijaksana, insufferable, cemburuan, insecure, dan mustahil. Tom mencintainya tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa hidup bersamanya. Dia mencintainya tapi tidak jatuh cinta dengannya.
Saat ini tidak.
Dia hanyalah.
Holly Mac.
Fakta dalam hidupnya.
Seseorang yang akan selalu menjadi bagian dari dirinya.
Seperti ia akan selalu menjadi bagian dari Holly.
Holly mengumpulkan foto-foto Tom dan menatapnya, satu per satu, mengenang kembali, emerging from her reverie untuk menjawab telepon yang berdering.
‘Hello?’
‘Holly?’ Terdengar sebuah suara yang tidak asing. Suara yang sudah bertahun-tahun tidak didengarnya. Suara itu menyadarkannya, membawanya kembali ke masa lalu.
Keheningan melanda ketika Holly mengangguk, suara itu mencoba untuk berbicara, menghentikan usaha Holly untuk bersuara.
‘Ini Saffron.’
‘Oh Saff,’ Holly mulai menangis. ‘Tom.’
Terdengar tangisan di ujung telepon yang lain. ‘Aku tahu,’ kata Saffron, suaranya pelan dan gemetar. ‘Tom.’
3
Olivia melangkah melewati pintu basement flat-nya lalu menyalakan lampu dan seketika itu juga tiga ekor kucing dan dua ekor anjing berlari menghampirinya dan menyambutnya dengan bersemangat. Ia membungkuk untuk memeluk mereka, melipat bibirnya ketika anjing-anjing itu menjilati seluruh wajahnya, kemudian ia berjalan menuju flat-nya dan menyalakan semua lampu ruangan dan lampu meja hingga sinar lembut memenuhi ruangan itu.
Mengambil the leads from the Shaker pegs di pintu depan, she clips them onto the dogs ketika mereka hilir mudik dengan lincah di sekelilingnya. Olivia membiarkan dirinya ditarik ke tangga depan, di anak tangga yang teratas ia menoleh memendang flat-nya, yang kini nampak hangat dan ramah bahkan dilihat dari keramaian jalanan.
Olivia tidak terbiasa menyalakan semua lampunya, tapi sejak ia dan George berpisah, pulang ke tempat yang gelap membuatnya merasa jauh lebih kesepian, dan kegiatan rutinnya yang sekarang termasuk mengajak anjingnya jalan-jalan dan kembali ke flat yang hampir, hampir, dihuni oleh seorang suami yang sedang berbaring di sofa sambil membaca Koran.
Tapi ternyata tidak. Tidak lagi.
George memang bukan suaminya, tapi karena Olivia sudah bersamanya selama tujuh tahun, dia sudah hampir seperti suami, dan kalau mau jujur ia tidak akan bersamanya hingga selama itu jika ia tidak punya pikiran bahwa suatu saat mereka akan berjalan di altar bersama.
Olivia berusia tiga puluh dua tahun ketika ia bertemu George. Merasa sangat bahagia dengan pekerjaannya sebagai deputi direktur untuk penampungan binatang, ia sangat oblivious dengan urusan berkencan kecuali jika salah satu teman dekatnya menjodohkannya – she had, much to her chagrin, unwittingly menjadi ahli dalam hal ini. Sebagian besar dari mereka, seperti yang selalu dikatakan Tom, akan jatuh cinta dengannya, tapi ia sama sekali tidak tertarik kepada satu pun dari mereka.
Ia tidak pernah menginginkan anak – bayi-bayinya adalah binatang, itulah yang selalu diucapkannya, dan ia sangat dekat dengan Ruby dan Oscar, keponakannya, sedekat yang seharusnya – jadi ia tidak merasa tertekan dengan jam biologisnya yang terus berdetak, seperti halnya sebagian besar teman-temannya di usia tiga puluhan, dan ia cukup bahagia dengan kehidupannya. Kemudian suatu hari George muncul untuk mencari seekor anjing, dan hidupnya menjadi jumpalitan.
It was his sweetness yang membuatnya tertarik. Itu, dan fakta bahwa dia sama menyenangkannya saat bersama anaknya yang berusia tiga tahun, dengan saat dia sedang bersama binatang. Bukan karena George seperti memberinya petunjuk kepadanya bahwa dia adalah orang yang menyenangkan – itu sangat tidak professional, tapi karena Olivia – sambil bersandar di pintu – memperhatikannya bermain dengan salah satu anjing favoritnya, Lady, anjing yang sudah berbulan-bulan berada di penampungan, karena tidak ada seorang pun yang ingin mengambilnya karena dia sudah berusia sebelas tahun, tidak terlalu cantik, dan sangat takut dengan manusia.
Geroge mengajak anak perempuannya, Jessica, ke ruang meet and greet, dan Olivia membawa Lady masuk, crouching down dengannya dan soothing her ketika Lady terus-menerus menuju sudut ruangan untuk bersembunyi.
Dan George tidak melakukan apa yang umumnya dilakukan oleh orang lain dalam situasi seperti ini. Dia tidak berusaha mendekati Lady, crooning in an attempt untuk membuatnya merasa lebih nyaman, overwhelming and crowding her, dia hanya duduk di sisi lain ruangan, Jessica duduk disampingnya, dan dia mengawasi Lady sambil berbicara dengan Olivia.
Pertanyaan yang biasa. Tentang Lady. Tentang penampungan itu. Bagaimana Olivia melakukannya, apakah ia tidak ingin membawa pulang semua hewan? Dan sedikit pertanyaan tentang dirinya. Bagaimana awalnya ia memulai pekerjaan ini. Apakah ia memang sejak kecil ia sudah ingin bekerja dengan binatang?
‘Lihat kan?’ Dia menoleh ke Jessica. ‘Kalau kau sudah dewasa kau bisa bekerja di suatu tempat untuk menolong binatang.’ Wajah si anak kecil berseri-seri.
‘Kami akan mengadakan open house hari Minggu depan,’ Olivia menawarkan. ‘Ini adalah acara penggalangan dana tahunan. We have stalls dan permainan dan menunggang kuda poni. Dan anak-anak boleh bermain dengan beberapa binatang.’
‘Oh kami akan dating,’ kata George. ‘Tapi akhir pekan minggu depan kau bersama Mummy, tapi aku yakin ia akan mengizinkanmu pergi denganku. Ayo kita telpon dia begitu kita sampai di rumah.’
Ah, pikir Olivia, jantungnya fluttering dengan cara yang hampir dilupakannya. Sudah bercerai. Tapi dia tidak mungkin masih lajang, mana mungkin, pria tampan yang menyenangkan. Tentu saja dia punya pacar, seseorang. Dan meskipun dia bebas, tentu saja dia tidak akan tertarik denganku. Tidak akan tertarik jika melihat penampilanku saat bekerja.
Olivia menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya untuk bersiap-siap menghadiri open house. Ia tidak mengikat rambutnya ke belakang sseperti yang sudah-sudah dan tidak mengenakan jeans usang, sweatshirt dan sepatu bot, sebaliknya, dibiarkannya rambutnya terurai melewati bahunya dan mengoleskan lipgloss dan sedikit mascara. Ia mengenakan cords dan kemeja, dan anting perak kecil, dan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia berusaha tampil lebih baik karena ini adalah acara khusus, penggalangan dana, dan sebagai deputi direktur dari tempat penampungan itu ia harus tampil professional.
Walaupun pada empat acara penggalangan dana sebelumnya ia hanya mengenakan jeans usang dan sweatshirt.
‘Oooh,’ ujar salah satu sukarelawan, dan sukarelawan yang lainnya, dan yang lainnya, ketika ia melintas. ‘Kau kelihatan fancy!’
‘Sedang ada wawancara kerja?’ Mereka tertawa.
Dan akhirnya: ‘Untuk apa kau tampil sangat posh?’
‘Abaikan saja mereka,’ ujar Sophie, asistennya yang sangat cekatan dan menyenangkan. ‘Kau kelihatan menawan, Olivia. Kau harus lebih sering berdandan rapi.’
‘Aku tidak berdandan rapi,’ tukas Olivia, yang sekarang merasa seolah-olah ia sedang mengenakan gaun pesta.
‘Tapi bagaimanapun kau kelihatan cantik.’
‘Yah, terima kasih.’ Olivia langsung menuju kamar mandi untuk memeriksa penampilannya di kaca, merasa berlebihan; tapi menurutnya tidak, pikirnya – hanya lebih rapi daripada yang biasa dilihat oleh mereka semua.
George dan Jessica berada disana seharian. Dia membeli dua puluh empat tiket raffle dan memenangkan kursus menunggang kuda poni untuk Jessica (‘Kurasa kau harus menunggu sampai dia sudah lebih besar,’ kata Olivia sambil tersenyum), sekantung besar makanan anjing, dan makan malam berdua di Chex Vincent yang berada di daerah ekslusif.
‘Kuharap sebagai deputi direktur tempat penampungan ini,’ kata George, mengumpulkan hadiah-hadiahnya, ‘kau mau menjadi tamuku di Chez Vincent.’
‘Oh … um …’Olivia merasakan wajahnya memerah. ‘Well, baiklah. Aku mau.’
‘Bagus,’ pancaran kebahagiaan di matanya terlihat jelas, ‘Aku akan menelponmu besok dan kita akan mengaturnya. Dan terima kasih untuk hari yang sangat menyenangkan. Jessie dan aku menikmati setiap menitnya,’ dan setelah itu dia mendekat dan mencium pipinya lembut.
Olivia pulang dengan perasaan melambung.
Satu kali makan malam disusul dengan makan malam yang berikutnya, kemudian mereka berhubungan selama beberapa minggu, minggu berganti menjadi bulan, dan akhirnya menjadi tahunan.
Setelah setahun ibu Olivia menyuruhnya duduk dan bertanya apakah George berencana untuk menikahinya. Ibunya sudah bercerai dari ayahnya lima tahun sebelumnya, dan Olivia merasa terkejut karena, meskipun setelah perceraian yang tidak diinginkan ini, ibunya masih berpendapat bahwa pernikahan adalah the very pinnacle of achievement bagi seorang wanita.
Ibu Olivia terus-menerus bertanya, on a regular basis, apakah mereka merencanakan pernikahan dalam waktu dekat ini, inevitably sniffing dan, pada suatu hari, berkata di akhir pembicaraan, ‘Tentu saja dia tidak akan melakukannya. Kenapa harus membeli sapi jika bisa mendapatkan susu dengan gratis.’
‘Mum!’ Olivia reprimanded her dengan tajam. Ia sudah cukup mendengarkan, dan Fern akhirnya mundur, tapi tidak bisa menahan diri untuk bertanya dari waktu ke waktu apakah menurut Olivia hal itu akan terwujud.
‘Aku tidak tahu kapan kami akan menikah,’ ujar Olivia. ‘Atau bahkan apakah kami akan menikah. Aku pernah membayangkan suatu saat kami akan melakukannya, tapi tidak perlu terburu-buru. Lihat saja Goldie Hawn dan Kurt Russel, mereka tidak pernah menikah dan hubungan mereka kelihatannya hebat. Kami cukup bahagia dengan keadaan yang sekarang.’
Dan itu memang benar. Olivia tidak pernah berpikir bahwa ia akan memerlukan cincin di jarinya untuk merasa terikat dengan seseorang, dan tidak diragukan lagi bahwa ia dan George sangat terikat satu sama lain.
Mereka bersama Jessie setiap akhir pekan, yang juga terasa mudah bagi Olivia. Walaupun Olivia tidak pernah merasa benar-benar nyaman bersaman anak kecil yang bukan keluarga, Jessie menyayangi binatang, dan itu sangat membantu, jadi mereka bisa cocok, menghabiskan waktu bersama binatang, dan Olivia menemukan cara untuk menjadi teman Jessie.
Dan Ruby dan Oscar sangat menyukai Jessie. Kakak Olivia, Jen, mengantar anak-anak ke tempat Olivia hampir setiap akhir pekan jika Jessie ada, dan kalau ia dan George pergi keluar bersama mereka semua, orang-orang akan berkata betapa manisnya anak-anak mereka, dan, setelah beberapa waktu ia berhenti menjelaskan bahwa tak satupun dari anak-anak itu miliknya.
Satu tahun berganti menjadi dua tahun, lalu tiga tahu, dan setelah tujuh tahun, Olivia tahu bahwa ia akan menghabiskan sisa hidupnya bersama George, dengan atau tanpa cincin.
Hingga tibalah malam ketika mereka pergi makan dan George mengumumkan bahwa kantornya sedang bersiap-siap untuk membuka cabang di Amerika, dan dia adalah salah satu yang akan berangkat ke New York untuk mengurusnya.
New York?’ Olivia merasa seolah-olah udara telah ditarik keluar dari dalam tubuhnya. New York. Apa yang bisa dikerjakannya di New York? Bagaimana dengan penampungan binatang? Ia tidak bisa pergi sekarang, setelah ia bekerja keras untuk membangunnya, dan dimana mereka akan tinggal? Bagaimana dengan teman-temannya? Flat-nya? Tapi bahkan ketika ia memikirkan tentang hal-hal tersebut, ia juga berpikir, New York! Betapa asiknya! Berapa orang yang punya kesempatan untuk pergi ke New York, bahkan tinggal disana!
‘Aku akan pergi sendiri,’ kata George lembut, meraih tangannya diatas meja.
‘Apa maksudmu?’ Olivia tidak mengerti. Masih tidak mengerti soal itu. ‘Bagaimana dengan Jessica?’
George mendesah. ‘Aku tahu, ini adalah hal yang paling sulit. Aku akan bersamanya setiap liburan, setiap libur sekolah, dan aku akan mencoba untuk pulang beberapa kali sebulan, jadi semoga saja keadaannya tidak akan terlalu berbeda. Tapi sewaktu aku berkata akan pergi sendiri,’ dia mengangkat wajahnya untuk menatap mata Olivia, ‘Maksudku …’ dia mendesah. ‘Ya Tuhan, ini sungguh sulit. Aku tidak akan pergi denganmu, Olivia. Aku mencintaimu, aku akan selalu mencintaimu, tapi kurasa ini kesempatan yang sangat baik untuk kita memilih jalan masing-masing.’
‘Apa?’ Olivia membeku, merasa seperti sedang mengalami mimpi buruk. Apa yang terjadi dengan perasaan aman yang selalu dimilikinya, dunianya yang selalu bisa diprediksi? Mengapa tiba-tiba semuanya di luar kendali? ‘Apa yang kau bicarakan?’ ia akhirnya berkata. ‘Apakah kau mengakhiri hubungan denganku?’
‘Aku tidak melihatnya seperti itu,’ kata George. ‘Hanya saja aku tidak tahu kemana arah hubungan ini, rasanya seperti we’ve been coasting, dan kurasa hal ini terjadi karena suatu alasan, bahwa sudah waktunya bagi kita untuk melanjutkan hidup masing-masing.’
‘Tapi aku tidak ingin melanjutkan hidupku,’ kata Olivia, air matanya mulai menggenangi matanya, ia membenci dirnya sendiri karena bertingkah seperti anak umur lima tahun. ‘Aku ingin kita bersama-sama. Kukira kita bahagia.’
‘Dulu,’ kata George sedih. ‘Tapi sekarang tidak lagi.’
Tom adalah satu-satunya yang dihubunginya malam itu ketika Olivia menangis di gagang telepon.
‘Bagaimana mungkin dia tega melakukan ini kepadaku?’ ia terus-menerus mengatakannya lagi.
‘Aku tahu,’ kata Tom berulang kali. ‘Keparat. Kau mau aku mampir dan mematahkan kakinya?’
‘Aku hanya ingin dia kembali,’ isak Olivia, dan kali ini Tom tidak mengatakan apa-apa.
Setelah enam bulan seharusnya segalanya menjadi lebih baik, tapi sejujurnya, tidak banyak perubahan. Tom secara teratur mengeceknya, teman-temannya yang lain mengajaknya keluar, dan walaupun ia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, bahkan yang terakhir keluar dari penampungan, ia tetap saja pulang dan berbaring di sofa berjam-jam, merasa numb.
Tempat tidur tidak menawarkan respite. Ia terbangun tengah malam dan mengulang hubungan mereka, merenungkan apa yang salah, memikirkan alasan mengapa ia tidak cukup baik untuknya.
‘Oh ya ampun,’ Tom akan berkata, suaranya terdengar tinny di telepon, ketika dia duduk di belakang meja kerjanya di Boston. ‘Ini bukan karena kau, jangan pernah berpikir ini karena kau. Jelas sekali dia punya masalah sendiri yang harus diselesaikannya, tapi Olivia, jangan pernah berpikir ini karena kau tidak cukup baik untuknya.’
Ia bahkan beberapa kali berkencan. Walaupun harus dikatakan, ia melakukannya dengan setengah hati. Ia berharap mereka bisa mengalihkan perhatiannya, tapi rasanya sungguh mengerikan untuk duduk semeja bersama orang asing, berbagi cerita lagi, memikirkan kapan kau bisa segera pergi dan melingkar di tempat tidur. Olivia berpikir saat-saat seperti itu sudah berakhir, berpikir bahwa ia tidak harus melewati hal-hal mengerikan semacam itu lagi.
Dan kemudian pada suatu malam George menelponnya. Dia terdengar bahagia, seperti sedang melayang-layang, dan Olivia menunggunya mengucapkan kata-kata yang sudah dinanti-nantikannya selama berbulan-bulan: Aku melakukan kesalahan. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu dan aku akan kembali.
Tapi George malah memberitahunya bahwa dia akan segera menikah. Tidak menyadari kepedihan yang ditimbulkannya, dia terus saja menceritakan tentang perempuan bernama Cindy, meyakinkan Olivia bahwa ia akan menyukainya, berharap Olivia mau dating ke pernikahannya, dan yakin bahwa Olivia juga akan mendapatkan cinta yang seperti ini.
‘Cindy!’ Olivia mengumpat kepada Tom malam itu di telepon. ‘Teganya dia! Bagaimana mungkin dia tega berbuat begini? Dan kenapa dia mau menikah? Kenapa dia tidak mau menikahiku? Apa yang salah denganku?’
Tom mendengarkan, dan kemudian, beberapa minggu sesudahnya, menelpon kembali dan mengatakan bahwa jalan yang terbaik adalah Olivia harus bersenang-senang, bersama seseorang yang bisa mengalihkan pikirannya dari George, dan dia mengenal seseorang.
‘Ya Tuhan, Tom,’ Olivia mengerang. ‘Masa kau juga, sih?’
‘Dengar, aku tidak mencoba fix you up dengan cinta pertamamu, tapi apa ruginya pergi keluar dan bersenang-senang dengan seseorang, paling tidak kau menyadari bahwa George bukanlah satu-satunya pria di dunia, ada banyak pria hebat diluar sana yang akan sangat senang berada bersama seseorang sepertimu. Ada seorang pria di kantorku – Fred –dia pria yang hebat, dan dia ada rencana mengunjungi London saat Tahun Baru, jadi kukatakan kepadanya aku punya seorang teman yang harus ditemuinya yang bisa mengantarnya berkeliling. Dia tinggal disini, jadi aku tidak memikirkan sesuatu untuk jangka panjang, tapi kau akan menyukainya, dan pasti akan menyenangkan untukmu selama beberapa hari.’
‘Fred? Kelihatannya bukan nama untuk orang yang hebat,’ tukas Olivia.
Tom mendengus. ‘Ya, karena George adalah nama yang seksi.’
‘Bagaimana dengan George Clooney?’
Tom mendesah. ‘Okay, bisa dimengerti. Tapi diantara semua orang, kaulah yang paling tahu bahwa kau tidak bisa menilai seseorang dari penampilannya. Atau namanya.’
‘Jadi, ceritakan kepadaku tentang dia,’ kata Olivia reluctantly.
‘Dia berusia tiga puluh tiga tahun, bujangan, sangat bugar –dia ikut kompetisi Ironman that are all the rage in our office dan sangat ketagihan.’
Tawa Olivia meledak. ‘Kurasa idemu mengenai olahraga masih ambling disekitar lapangan cricket?’
‘Yah, kurang lebih. Sebelum aku bekerja disini. Lihat saja dulu fotonya. Ada di website kami,’ dan Olivia melihat sambil terus berbicara dengan Tom, dan Fred agak dishy, dan walaupun ia tidak mencari hubungan yang serius, masih terlalu cepat setelah George, mungkin Tom benar, mungkin yang dibutuhkannya hanyalah seks untuk melampiaskan dendam.
‘Ya sudah, kalau begitu,’ kata Olivia.’Kau boleh memberikan alamat e-mailku kepadanya.’
Fred meng-emailnya keesokan harinya, dan keduanya asik bertukar e-mail dengan saling menggoda, lebih daripada yang dibayangkan Olivia.
Fred nampaknya sangat boyish dan santai, dan walaupun ia selalu berpikir bahwa George adalah pria yang sempurna untuknya, dengan usianya yang sudah empat puluh tujuh tahun dia jelas sudah set in his ways, sedangkan ada sesuatu pada Fred yang baru berusia tiga puluh tiga tahun, sesuatu yang membuatnya merasa bersemangat.
‘Seandainya saja aku bisa dating lebih cepat,’ Fred menulis, ‘rasanya lama sekali menunggu untuk bertemu denganmu, sampai Januari. Mungkin aku bisa mencoba untuk mengatur rapat di London pada bulan November …. Bagaimana menurutmu?’
‘Menurutku itu ide bagus,’ Olivia membalasnya. ‘Aku akan senang akhirnya bisa bertemu denganmu.’
Olivia berjalan kembali ke flat-nya, melepas rantai anjingnya, dan memberi makan hewan-hewannya sebelum berpikir untuk memberi makan untuk dirinya sendiri. Selama enam bulan terakhir ini ia sudah tidak lagi memikirkan soal makanan. Waktu George masih tinggal disini ia senang memasak, menyiapkan makanan yang lengkap, atau paling tidak mampir ke bagian M&S foodhall untuk membeli sesuatu.
Sekarang ia bahkan tidak memikirkan soal makanan. Ia menyediakan daging kalkun iris di kulkasnya, dan biasanya menyantapnya dengan setengah kantong wortel dan beberapa sendok hummus.
Kalau kebetulan ingat, ia juga menyantap Lean Cuisines. Bukan karena ia menyukainya, tapi karena mudah disiapkan, dan menurutnya ia akan tetap mendapatkan nutrisi yang dibutuhkannya, dan karena ia hanya tinggal memanaskannya di microwave.
Sebagai konsekuensinya, berat badannya turun drastic. Bukan karena ia merencanakannya, Olivia selalu cepat-cepat memberitahu semua orang yang bertanya program diet apa yang dijalaninya, bahwa ia kurus karena stress. Pakaian-pakaiannya kedodoran, dan ia tahu ia harus segera membeli pakaian-pakaian baru, tapi bayangan untuk belanja pakaian selalu menakutkannya.
Tapi tetap saja. Ada waktu-waktu dimana ia merasa ingin makan, dan malam ini adalah salah satunya. Sod’s law, ketika ia membuka kulkas, ia dihadapkan pada saderet rak yang nyaris kosong: the wax rind of  keju yang seharusnya sudah dibuang, kantong bening berisi selada di laci paling bawah yang seingatnya baru sekali dimakannya, dan rancid milk yang tinggal setengah.
Isi lemari dapurnya juga tidak menarik. Beberapa bungkus biscuit Ritz tergeletak sembarangan di dalam kotak, sekotak penuh cornflakes, yang sangat tidak menarik tanpa susu, dan beberapa kantong teh celup.
Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan pada malam seperti ini. Olivia meraih kuncinya, melangkah keluar, dan mengemudikan mobilnya menuju Maida Vale. Mampir ke rumah kakaknya, dan yang pasti, kulkas kakaknya, yang selalu dipenuhi sisa makanan yang enak-enak.
‘Jen!’ seru Olivia memanggilnya, melemparkan mantelnya di kursi depan pintu masuk – sesuatu yang sangat dibenci oleh ibu mereka, dan sesuatu yang menjadi kebiasaan Olivia dan Jen ketika mereka berumur sepuluh tahun – kecuali bahwa sekarang Jen sudah menikah dan menjadi ibu, dan dia juga membenci kebiasaan itu. ‘Jen?’
Olivia tahu dia pasti ada di rumah, mobilnya diparkir di luar, jadi Olivia langsung menuju dapur, berencana untuk langsung mengambil makanan dari kulkas sementara kakaknya menyiapkan secangkir teh, karena anak-anak pasti sudah tidur sekarang.
Ketika Olivia membuka pintu dapur, dilihatnya Jen duduk di meja dapur, dan dengan segera ia tahu pasti ada yang tidak beres. Kakanya baru saja menutup telepon, dan wajahnya seputih seprai.
‘Jen?’ Olivia merasakan ketakutan melandanya. ‘Jen? Kenapa? Ada apa? Apakah Mum?’ Ada sedikit nada histeris dalam suaranya ketika ia berbicara semakin keras.
‘Oh, Olivia,’ ujar Jen, matanya dipenuhi kesedihan. ‘Tadi itu Elizabeth Gregory, salah satu teman sekolahku. Dia kenal … yah, sebenarnya suaminya kenal dengan temanmu Tom. Aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini. Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahumu, tapi Tom ada di kereta itu.’
‘Kereta apa? Apa yang kau bicarakan?’
‘Dia berada di dalam Acela. Di Amerika. Dia tidak selamat.’
‘Apa maksudmu Tom berada di dalam Acela? Apa yang kau bicarakan?’ Dan perlahan-lahan ia mulai menyerapnya. ‘Tom? Maksudmu Tomku? Dia mati?’ Dan tanpa sadar, Olivia merosot ke lantai, tubuhnya gemetar.
4
‘Terima kasih banyak, sayang.’ Holly berjingkat untuk mencium pipi Marcus ketika suaminya hustles Oliver dan Daisy keluar. ‘Aku tidak bisa mengungkapkan betapa aku sangat menghargai ini.’
‘Kau ingat saja tentang ini saat akhir pekan aku ingin bersantai-santai,’ kata Marcus. ‘Ada pesan dari ibumu?’
‘Tidak, hanya berterima kasih dan aku akan menelponnya besok.’
Anak-anak akan tinggal di rumah ibu Holly untuk semalam, dan Marcus akan kembali ke kantornya untuk bekerja, sehingga Holly bisa menyiapkan makan malam untuk orang-orang yang pernah sangat dikenalnya lebih dari orang lain di dunia,orang-orang yang sudah bertahun-tahun tidak ditemuinya.
Dua puluh satu tahun tepatnya. Dan malam ini bukan hanya reuni, malam ini adalah memorial service pribadi mereka, kesempatan mereka untuk saling memberikan dukungan, untuk mengenang Tom yang mereka cintai. Selalu mereka cintai.
Saffron terbang dari New York, dimana dia baru saja rapat dengan seorang produser. Dia menginap di Soho Grand, sedang berada disana ketika kereta itu meledak. Dan dia, seperti halnya penduduk New York yang langsung teringat peristiwa 9/11, had fled the city, berpikir bahwa ini hanyalah peristiwa pertama dari rangkaian serangan teroris. Dia langsung melompat ke mobil temannya menuju rumah mereka di Bedford, berkumpul bersama keramaian di sepanjang West Side Hihgway, dengan tubuh gemetar sepanjang perjalanan, semuanya tercengang karena New York sekali lagi menjadi target.
Olivia sedang berada di flat-nya, membolak-balik Guardian sementara anjing-anjingnya meminta makanan, tidak membaca apapun, pikirannya melayang-melayang mencoba untuk memahami tragedy itu, ketika Holly menelponnya.
Olivia bahkan sudah bertahun-tahun tidak memikirkan tentang Holly. Ia hanya pernah berbicara dengannya sekali sejak musim panas setelah mereka semua meninggalkan sekolah, yaitu ketika Olivia pergi ke Yunani dan kembali lagi, mendapati dirinya sudah menjadi orang dewasa.
Mereka tanpa sengaja bertemu setahun setelah lulus dari perguruan tinggi, dan keduanya menertawakan penampilan mereka yang sangat berbeda dengan dulu. Rambut Olivia panjang hingga ke pinggangnya, dan rambut coklat ikal Holly kini lurus mengkilap dengan sentuhan warna mahogany.
Olivia sebetulnya ingin tinggal lebih lama untuk mengobrol, walaupun mungkin tidak bisa seakrab dulu lagi, ia ingin tahu lebih banyak tentang Holly, tapi saat itu ia baru saja mulai berkencan dengan Andrew, yang cemburuan, Andrew yang insecure, dan dia had hovered dibelakang Olivia, hanya mengangguk disdainfully kepada Holly ketika diperkenalkan, menciptakan atmosfer yang tegang sehingga Olivia membiarkan dirinya ditarik menjauh dari Holly begitu ada kesempatan.
Dan setahun kemudian seseorang menelpon menanyakan Olivia, dan anehnya suara itu terdengar seperti suara Holly.
‘Holly?’ Olivia mendengar dirinya berkata, incredulously.
‘Ternyata ini memang kau!’ ujar Holly. ‘Aku tidak yakin.’
‘Oh Holly,’ ujar Olivia, air matanya mulai menetes. ‘Bukankah ini sangat menyakitkan? Apakah kau sudah berbicara dengan semuanya? Apakah kau sudah berhubungan dengan Saffron? Dan Paul?’
‘Sudah,’ kata Holly, dengan suara tercekat. ‘Aku sudah berbicara dengan semuanya.’
Dan ia memang sudah berbicara dengan semuanya.
Satu-satunya yang diinginkan Holly, leading up to the memorial service, adalah membicarakan tentang Tom. Yang dibicarakan oleh semua orang hanyalah mengenai serangan ini. Ia tidak bisa menghindarinya, dan membicarakan tentang Tom merupakan cara baginya untuk membuatnya seolah-olah masih hidup. Walaupun orang-orang tidak tertarik untuk mengetahui bahwa disini ada seseorang yang memiliki hubungan pribadi dengan tragedy itu, Holly mendapati dirinya terus saja berbicara dan berbicara dan berbicara.
Mungkin orang-orang akan tertarik dengan cerita yang lebih detil, mungkin juga tidak. Tidak ada yang bisa menghentikannya untuk berbicara; walaupun, semua orang ingin merasakan tragedy yang dialami Holly, semua orang yang ingin bisa mengatakan bahwa mereka bertemu dengan seseorang yang juga punya kenalan yang juga korban Acela, seolah-olah mereka juga terkait, lebih memahami kepedihan dan duka yang dialaminya, the fallout dari tragedy yang seperti ini.
Marcus sungguh luar biasa. Sangat mendukung ketika ia membutuhkannya, memberinya kebebasan dan waktu untuk menangis ketika ia memerlukannya. Sejak kematian Tom, sikap Marcus telah mengingatkan Holly akan segala hal yang baik tentangnya, dan saat-saat dimana dukanya subsides, ia merasa sangat bersyukur untuk itu. Marcus adalah, pikir Holly suatu hari ketika ia sedang menatap suaminya, pilar kekuatannya, dan seketika itu juga ia tahu itulah sebabnya ia menikahinya.
Segala sesuatu tentang Marcus menyiratkan kekuatan. Dari bentuk rahangnya hingga sikapnya yang tenang namun menegaskan bahwa segala yang dilakukannya adalah hal yang benar. Pertama kali Holly bertemu Marcus ia tahu ia belum pernah bertemu dengan orang seperti ini dalam hidupnya.
Dan sungguh sangat membantu bahwa Marcus betul-betul berbeda dengan ayah Holly. Ia tahu bahwa Marcus setia. Ia tahu Marcus bukanlha tipe laki-laki yang mempunyai hubungan gelap, bukan tipe laki-laki yang akan meninggalkan istrinya dan anak perempuannya, menghilang into the ether leaving just a faint whiff of false promises. Dia tidak akan menjalin hubungan gelap dengan salah satu teman Holly, seperti yang dilakukan Russ, pacar Holly yang terakhir.
Holly sedang berada di rumah seorang teman di Sydney, having a cookout, ketika ia melihat Marcus. Duduk di rerumputan dengan celana jeans pendek dan T-shirt, kulitnya secoklat berry from the traveling, the smattering of freckles di dekat tulang hidungnya sangat banyak, sehingga hampir membuat kulitnya jadi kecoklatan.
Ada banyak sekali orang di tempat itu. Kebanyakan peselancar, dan semuanya bertetangga atau berteman, semua orang dating dengan riang membawa makanan, bir. Marcus kelihatan mencolok, dengan sikap formalnya yang aneh. Dia kelihatan seperti pengacara Inggris kaku dengan poloshirt Ralph Lauren, yang dimasukkan ke dalam celana pendeknya dengan ikat pinggang coklat. Holly memperhatikannya meneguk birnya dengan canggung, bahkan tidak ingin berbasa-basi, dan Holly merasa kasihan kepadanya. Ia merasa kasihan kepadanya karena satu-satunya orang Inggris di tempat itu, dan karena dia tidak bisa berbaur dengan keramaian di sekelilingnya.
‘Aku Holly,’ katanya, clambering up dan menghampirinya, mengulurkan tangan. ‘Kau pasti Marcus,’ karena ia pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa ada pengacara Inggris kaku bersama mereka, dan tidak diragukan lagi itu pastilah dia.
Raut wajah Marcus menjadi agak bersemangat. ‘Kau orang Inggris!’ Itu adalah suatu pernyataan, bukan pertanyaan, dan, merasa berterima kasih kepada Holly karena telah menyelamatkannya, sikapnya menjadi sweet and endearing, dan Holly tidak keberatan menghabiskan sepanjang malam mengobrol dengannya. Dan ia juga tidak keberatan ketika dia menelponnya hari berikutnya untuk mengajaknya makan siang, dan ia juga tidak keberatan ketika beberapa malam berikutnya ketika dia menciumnya saat mengantarnya pulang.sebelum berpamitan.
Marcus bukanlah tipe idealnya, tapi mungkin, pikir Holly kemudian, itu bukan sesuatu yang buruk. Dan apa hasilnya berkencan dengan orang yang sesuai dengan tipenya? Begitu banyak kekacauan, hubungan yang mengecewakan dimana Holly biasanya menjadi pihak yang terluka. Mungkin malah bagus bahwa Marcus bukanlah tipenya. Dan dia toh tidak buruk. Penampilannya jelas mendukung. Tubuhnya tinggi, wajahnya tidak buruk, jelas sangat sukses, dan dia nampaknya sangat memujanya. Kalau mau jujur sangat menyenangkan memiliki seseorang yang memujanya dalam hidupnya.
Aku akan menikmati saja dulu, pikir Holly. Aku tahu dia bukanlah pria idamanku, tapi dia sangat berbeda dengan pria-pria lain yang kukenal, mungkin ini lebih baik untukku, mungkin seperti inilah hubungan yang sesungguhnya. Mungkin akulah yang selama ini salah, seharusnya aku tidak mencoba mencari belahan jiwaku, partner yang sempurna, mungkin yang seperti inilah yang seharusnya kucari.
Holly selama ini berusaha untuk mencari perasaan aman. Ia sudah mencari-carinya pada saat ia tidak merasa aman. Ia sudah dikecewakan berkali-kali, dan ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia berpikir bahwa ia tidak pantas mendapatkan kebahagiaan. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa kebahagiaan hanya ada di film-film Hollywood. Sedangkan persahabatan, perasaan aman, dan berbagi harapan dan impian jauh lebih masuk akal, jauh lebih baik untuk pernikahan yang bahagia.
Holly meyakinkan dirinya sendiri untuk menikah. Bahwa ia ingin dewasa dan mengambil keputusan yang bijaksana. Itu sudah cukup.
Tapi selama masa-masa pernikahannya, ketika pikiran Holly beralih ke Tom, Tom selalu berada di sisinya sebagai sosok yang membuatnya berandai-andai kalau saja keadaannya berbeda. Dia bukan hanya sosok yang tidak bisa didapatkannya, jalan yang tidak diambilnya, cinta yang tidak dipilihnya.
Tom adalah satu-satunya yang Holly tahu pasti, jauh di dalam hatinya, dengan dialah Holly seharusnya menghabiskan sisa hidupnya. Jadi perasaan kehilangannya berlipat ganda. Ia berduka untuk sahabatnya, pria yang dicintainya, dan ia berduka untuk kehidupan yang tidak akan pernah dimilikinya.
Dan malam ini, pada acara makan malam, Holly mengharapkan sesuatu yang catharsis, berharap bahwa mereka bisa berbagi duka, dan melewatinya bersama-sama.
Ia merasa gugup untuk bertemu dengan yang lainnya. Bersemangat namun apprehensive. Olivia kelihatan bristly terakhir kali ia bertemu dengannya di bioskop bersama pacarnya yang menjengkelkan yang kelihatannya sangat sombong dan kasar.
‘Aku tidak percaya aku bertemu dengan Olivia dan dia sedang bersama pria yang sangat menyebalkan,’ katanya kepada Tom suatu malam, ketika mereka sedang duduk di restoran Yunani kecil di Bayswater. ‘Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, dan kau pikir kami akan mengadakan reuni yang hebat, tapi kemudian dia menyeretnya untuk menjauh. Kau harus mengatakan sesuatu kepadanya mengenai seleranya soal laki-laki.’
Tom tertawa. ‘Itu bukan urusanku, Holly. Dia menyukainya, bukankah itu yang penting?’
Holly mendesah. ‘Kurasa begitu, hanya saja Olivia selalu sangat baik dan lugu jika menyangkut soal laki-laki dan dia kelihatannya tidak berubah. Bagaimana dengan Saffron? Apakah kau berbicara dengannya akhir-akhir ini?’
‘Kau seharusnya menanyakannya sendiri. Dia akan senang mendapat kabar darimu.’
‘Sudah bertahun-tahun. Aku senang mendengar berita tentang dia, tapi kami sudah sangat lama terpisah, dan aku ragu dia ingin mendengar kabar tentang aku.’
‘Kurasa dia mau,’ ujar Tom.’Aku yakin dia mau. Kalian semua saling menanyakan keadaan masing-masing tapi tidak ada satu pun yang betul-betul mau mengangkat telepon.’
‘Karena kurasa kami tidak punya kesamaan lagi,’ ujar Holly. ‘Kecuali kesamaan tentang masa lalu, dan kalau mau jujur, berapa kali kau bisa mengingat-ingat tentang berdansa romantis di aula gereja, mengenakan jaket dan sepatu bot jelek?’
‘Ya Tuhan,’ Tom tertawa. ‘Aku sudah lupa tentang itu. Kau kelihatan mengerikan.’
‘Yah, begitulah. Kau dan penampilanmu yang ingin meniru Suggs juga tidak ada bagus-bagusnya.’
‘Ah, betul. Aku mencoba melupakannya. Tapi menurutku kau punya kesamaan dengan yang lainnya, tentu saja kau punya. Kita berteman karena alasan tertentu.’
‘Entahlah,’ kata Holly ragu. ‘Menurutku hanya karena dipaksa untuk bersama-sama begitu lama. Meskipun menurutku kau memang lucu,’ Holly menambahkan. ‘Aku tidak percaya kau masih berhubungan dengan semuanya? Bagaimana kau bisa melakukannya? Aku bahkan tidak punya waktu untuk membalas telpon di mesin penjawabku, apalagi menyediakan waktu untuk menelpon teman-teman lamaku. Kau sungguh luar biasa, tahu.’
‘Aku tahu. Bukankah itu sebabnya kau mencintaiku?’
‘Ngomong-ngomong soal cinta …’ Holly merasakan getaran yang sudah dikenalnya. Like a constant merry-go-round, ia duduk di meja, berhadapan dengan Tom, berusia dua puluh lima tahun, menatap wajah yang dikenalnya lebih dari siapa pun di dunia, sahabatnya, dan yang bisa dipikirkannya hanyalah bagaimana rasanya mencium Tom. ‘ … Apakah kau … sedang berkencan dengan seseorang?’ She fidgeted on her seat. Gugup.
‘Kenapa? Kau menyukaiku lagi?’
Itu selalu menjadi lelucon diantara mereka, saling jatuh cinta yang terus-menerus hilang-timbul, tapi Holly mendapat dirinya kehilangan kata-kata karena merasa malu, wajahnya merah padam.
‘Ya Tuhan,’ Tom kelihatan takut. ‘Aku tidak bermaksud begitu. Oh, God, Holly. Kalau saja kau mengatakannya kepadaku dua bulan yang lalu.’
‘Dua bulan yang lalu aku bersama Jake.’
‘Aku tahu.’ Tom tersenyum. ‘Aku sangat cemburu.’
‘Yah, kenapa kau tidak bilang apa-apa?’
‘Karena kau sudah bersama Jake. Apa bedanya?’
‘Aku bisa saja meninggalkannya untukmu.’
‘Holly, Holly, Holly.’ Tom meletakkan kedua tangannya di kepalanya. ‘Kita tidak ditakdirkan untuk bersama, kau tahu itu.’
Wajah Holly yang merah padam langsung normal kembali. ‘Aku tahu.’ Ia mendesah.’Tapi bagaimana kalau kita masih sama-sama belum punya pasangan pada usia tiga puluh? Bagaimana kalau kita membuat perjanjian bahwa kita akan menikah jika kita berdua masih sendirian saat berusia tiga puluh?’
‘Tiga puluh?’ Tom kelihatan sedikit was-was. ‘Itu lima tahun lagi. Bagaimana kalau tiga puluh lima?’
‘Okay.’ Holly mengulurkan tangannya dan Tom menjabatnya. ‘Tiga puluh lima dan kita akan menikah.’
‘Beres.’
‘Jadi, teruskan,’ kata Holly setelah beberapa menit, mulutnya dipenuhi roti pita dan tzatsiki. ‘Siapa perempuan itu?’
Dan percakapan mereka pun berlanjut.
Holly sedang tidak ingin memasak, tapi menyiapkan salad, mengambil pesanan sajian pasta, beberapa roti baguette, dan tiramisu dari restoran Italia di ujung jalan. Beberapa botol wine didinginkan di kulkas.
Holly menyiapkan meja untuk empat orang, semuanya memakan waktu lima kali lebih lama dari biasanya karena ia terus-menerus mengingat segala kebersamaan dengan Tom.
Ia selesai menyiapkan meja, kemudian ke kamar mandi, berusaha mencoba menyembunyikan kepedihan di wajahnya yang terlihat selama beberapa minggu terakhir ini. Meneteskan obat mata untuk meredakan matanya yang merah, mengoleskan pelembab di kulitnya yang blotchy karena derasnya air mata. Eye shadow untuk membuat matanya menjadi lebih besar, blusher untuk memberikan sedikit warna pada wajahnya, yang belakangan ini terlihat pucat.
Tidak cantik. Tidak mungkin untuk sekarang. Tapi cukup. Itu yang terbaik yang bisa diharapkannya. Ketika bel pintu berbunyi, Holly mendesah dan menyelipkan rambut di belakang telinganya, kemudian dia menuruni tangga.
Ia sering berpikir untuk mengadakan reuni, tapi tidak pernah terbayang situasinya akan seperti ini.
5
Olivia yang pertama tiba. Berdiri dengan canggung di pintu masuk proffering sebotol wine, Olivia merasa terkejut dengan betapa mudahnya ia dan Holly berpelukan, dan ketika mereka melepaskan pelukannya, keduanya mengusap mata mereka dan tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala, terlalu dipenuhi oleh emosi untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Sebuah mobil Saab perlahan muncul di ujung jalan, mereka menoleh, Holly squinting at the car, seorang pria dan seorang wanita mengintip dari jendela. Ia melambai dengan bersemangat ketika mobil itu akhirnya menemukan tempat parker, dan Paul dan Saffron berjalan menghampiri mereka, semuanya tersenyum sedih satu sama lain, sebelum berpelukan, satu per satu, pelukan yang penuh dengan air mata, tidak percaya mereka bisa berkumpul lagi setelah bertahun-tahun, tidak percaya dengan apa yang telah membawa mereka berkumpul kembali.
Holly tiba-tiba merasa sangat lega karena rombongan kecil yang sekarang berisik itu kini berjalan menuju dapur rumahnya. Olivia awalnya menyarankan mereka untuk pergi ke suatu tempat, tidak ingin merepotkan Holly untuk memasak dan menyiapkan makanan, tapi Holly tahu bahwa ia tidak sanggup berada di tempat umum, ia memerlukan suasana yang akrab, memerlukan kehangatan dan kenyamanan di rumah.
‘Bagaimana kabarmu?’
‘Kau kelihatan luar biasa!’
‘Coba lihat dirimu!’
‘Teman kita seorang bintang film!’
‘Ya Tuhan! Sudah berapa lama ya?’
Suara-suara mereka menggema disekeliling dapur ketika mereka tersenyum satu sama lain, Olivia tersenyum kepada Saffron, Paul meremas bahu Holly, dan Saffron merasa, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, bahwa dia tidak perlu menjadi Saffron Armitage, bintang film, bahwa ia akhirnya bisa menjadi Saff. Hanya Saff.
‘Senang sekali berada disini.’ Paul menghempaskan tubuhnya di kursi dapur, meneguk segelas wine. ‘Situasi yang menyedihkan memang, tapi ya ampun, senang sekali bertemu dengan kalian semua.
Forgive the movie cliché,’ kata Saffron, suaranya tercekat karena dilanda emosi, ‘tapi aku merasa seperti pulang ke rumah.’
Olivia memecahkan keheningan dengan meninju Paul. ‘Kau kelihatannya banyak makan belakangan ini,’ katanya sambil nyengir.
‘Oh sungguh mengharukan,’ kata Paul. ‘Aku tidak bertemu denganmu selama, berapa lama ya? Dua puluh tahun? Dan kalimat pertama yang keluar dari mulutmu adalah celaan. Bisa kulihat kau tidak berubah sedikit pun.’
Olivia melingkarkan lengannya di sekeliling bahu Paul kemudian meremasnya, membungkuk untuk mencium pipinya. ‘Kau kelihatan hebat. Aku hanya menggodamu. Ngomong-ngomong, kau seharusnya senang aku masih merasa nyaman di dekatmu.’
Saffron berjalan mengelilingi ruang tamu dan melihat-lihat foto-foto yang dipajang. Dia mengambil satu foto – Holly dan Marcus tersenyum lebar ke kamera as they perch on a wooden gate in the country.
‘Holly,’ panggil Saffron, ‘apakah ini suamimu?’ Dia mengangkat foto itu.
‘Yup,’ Holly mengintip dari balik pintu, ‘dan yang itu adalah anak-anakku.’
‘Aku tidak percaya ini,’ Saffron menggeleng-gelengkan kepalanya. ‘Holly Mac sudah menikah. Dan punya anak.’
Holly kembali ke dapur sambil tersenyum. ‘Hey Paul. Ngomong-ngomong soal menikah, aku melihat beberapa hasil kerjamu di Vogue. Mr Prada. Aku hampir menelponmu hanya untuk menertawakanmu.’
Paul dips his head sheepishly. ‘Ah betul. Aku merasa agak poseur. Had the piss taken out of me selama berminggu-minggu, dan aku hanya melakukannya karena menurut Anna bagus untuk publisitas.’
‘Apakah memang begitu?’
‘Yup.’
‘Ya ampun, aku suka sekali Fashionista!’ seru Holly. ‘Aku suka mencoba peruntungan dengan situs-situs pakaian lainnya, tapi layanannya sungguh menjengkelkan. Barangnya selalu datang terlambat dua minggu karena kehabisan stok, dan mereka tidak pernah meminta maaf, dan aku sangat jengkel. Jadi sekarang aku hanya membuka Fashionista dan mereka benar-benar luar biasa. Sungguh, kemasannya, kecepatan layanannya. Bilang pada istrimu aku adalah penggemar berat dan dia punya pekerjaan yang sangat hebat.’
‘Kurasa istrimu mau memberikan kita harga khusus?’ ujar Saffron.
‘Tentu. Kalian harus bertemu dengannya dulu, dan dia pasti menyukai kalian semua, dan itu akan menjadi masalah buatku, tapi aku akan mengatasinya.’ Paul tersenyum.
‘Kenapa kau membeli begitu banyak barang dari mereka?’ Tanya Olivia.
Holly mengangkat bahu. ‘Dua alasan. Pertama, siapa pun yang membeli dari website mempunyai selera bagus yang bisa ditebak …’
Paul mengangguk smugly.’Itu adalah para istri.’
‘ –dan,’ lanjut Holly, ‘Kelihatannya salah satu my vices setelah aku bertambah tua adalah belanja.’
Dan percakapan pun berlanjut … Ketika malam datang, inhibitions are loosened, dan hubungan diantara mereka mulai terjalin kembali. Apapun yang telah memisahkan mereka satu sama lain selama bertahun-tahun ini telah hilang tanpa bekas.
Olivia, merasa gugup karena akan bertemu kembali dengan orang-orang yang selalu membuatnya merasa rendah diri, tidak lagi merasa demikian, terkejut ketika mendapati dirinya tidak lagi merasa Saffron lebih cantik dan Holly lebih cerdas dan, walaupun mungkin memang benar, hal itu tidak lagi mengganggunya, tidak lagi membuatnya merasa harus mengukur dirinya sendiri dengan mereka dimana ukurannya selalu jauh lebih rendah.
Saffron kini lebih tenang. Saffron yang dulu selalu mudah panik, tapi Saffron yang sedang duduk disini sekarang terlihat kalem, terlepas dari kesedihannya. Ratu drama yang dulu sudah berubah, dia kelihatan nyaman dengan dirinya dan itu membuatnya terlihat jauh lebih cantik.
Paul masih sama saja. Dia sama sekali tidak berubah, walaupun Holly mengeluarkan majalah Vogue (ia pergi keluar dan langsung membelinya). Tom benar, Holly teringat kembali dengan pedih, percakapannya dengan Tom ketika ia pertama kali melihat Paul di Vogue. Dia masih scruff, hanya saja kini mampu untuk memoles penampilannya menjadi jauh lebih baik.
Dan Holly? Holly mungkin satu-satunya yang harus kau khawatirkan. Ia juga satu-satunya yang kelihatan paling kehilangan. Bahkan disini, diantara orang-orang yang telah lama mengenalnya, walaupun ia terlihat nyaman, duduk dengan kaki terlipat di atas sofa yang empuk, bahkan saat disini pun ia kelihatan kehilangan.
‘Tom mungkin satu-satunya hal yang paling konsisten dalam hidupku.’ Olivia menjulurkan tangannya ke meja dan menuangkan wine untuk dirinya sendiri sambil mendesah. ‘Apapun yang sedang terjadi, siapapun yang telah meninggalkanku, atau betapapun buruknya pekerjaanku, Tom selalu ada untukku. Walaupun aku tidak sering bertemu dengannya, tapi dia sungguh sangat loyal dengan sahabat-sahabatnya, dia selalu berada di sisimu. God, aku mencoba menyingkirkannya sewaktu usiaku dua puluhan, tapi dia tetap saja tidak mau pergi …’
Yang lain tertawa.
‘Kau tahu apa yang paling kusukai dari Tom? Dia tidak pernah berubah. Dia tidak pernah terkesan dengan orang-orang atau hal-hal tertentu. Dia sudah lama sekali mengenalku dan dia sama sekali tidak terkesan dengan aktingku atau film-filmku. Dulu hal itu sangat menjengkelkanku,’ Saffron mengakui sambil mengangkat bahu, ‘Setelah aku membintangi film bersama Dennis Quaid, kupikir dia akan lebih menghargaiku, tapi dia sama sekali tidak peduli. Sebenarnya, kurasa dia menyarankan kepadaku untuk get off my high horse sekali-sekali.’
‘Dan apakah kau melakukannya?’ Paul menatapnya sambil tersenyum geli.
‘Menurutmu bagaimana?’ Dia mengangkat alis matanya sambil berputar pelan menghadap ke Paul.
‘Kurasa tidak.’
‘Aku tahu ini kedengarannya mengerikan,’ kata Holly pelan, ‘tapi bukankah orang selalu berkata bahwa kau tidak pernah benar-benar menghargai apa yang telah kau miliki hingga mereka pergi? Aku menghabiskan bertahun-tahun jatuh cinta dan tidak jatuh cinta dengan Tom, dan kemudian aku bertemu Marcus, dan tentu saja Tom dan aku hanya teman, tapi seandainya saja aku lebih sering berbicara dengannya, seandainya saja aku bisa menunjukkan betapa aku mencintainya. Maksudku, bagaimana mungkin kau bisa menduga kejadian seperti ini?’
‘Tentu saja kau tidak bisa menduganya,’ kata Saffron, ‘dan dia pasti tahu. Dia tahu kita semua mencintainya. Itulah sebabnya dia tetap berada dalam kehidupan kita.’
‘Mari bersulang,’ kata Olivia. ‘Untuk Tom …’ Dia menatap ke atas, ‘ … dimana pun kau berada.’
‘Untuk Tom,’ mereka semua mengikutinya. ‘Kami berharap kau ada disini.’
‘Mau kopi lagi?’ Holly mendesah ketika ia meluruskan kakinya dan bangkit dari sofa, menyadari bahwa ada perbedaan dalam hubungannya dengan Tom tapi ia tidak ingin membaginya dengan yang lain. Belum.
‘Kurasa tambah wine lagi,’ kata Paul, setelah mengosongkan gelasnya yang keempat.
Kejadiannya tidak lama setelah makan malam di Bayswater. Sebelum perjalanannya ke Australia dimana Marcus menaklukkan hati Holly, sebelum ia melihat Tom dan menganggapnya lebih dari sekedar teman.
Makan malam yang lain. Kali ini di Holland Park. Tidak ada tujuan apa pun selain untuk mengobrol. Pagi itu Holly telah mengunjungi warehouse Ghost yang sedang mengadakan obral besar-besaran – memaksa dirinya berdesakan diantara wanita-wanita London lainnya, putus asa mencari-cari sesuatu yang kira-kira seukuran tubuhnya, tidak berpikir untuk menanggalkan pakaiannya dan hanya mengenakan bra dan celana dalamnya untuk mencoba sesuatu di tengah ruangan yang dipenuhi rak-rak pakaian.
Ia menemukan sebuah beautiful diaphanous lilac coat. Sheer, mengembang, dan melambai di belakangnya jika ia berjalan. Mantel itu diikatkan di lehernya dengan tali bermanik-manik halus, dan dikenakan dengan celana panjang berwarna senada dan camisole.
Holly kelihatan cantik malam itu. Sore tadi udara sangat panas. Ia menemui teman-teman perempuannya di Primerose Hill. Satu orang membawa selimut ekstra besar, yang lainnya membawa baguette, dan yang lain lagi membawa keju. Holly membawa wine, dan mereka semua menanggalkan T-shirt mereka, melipat rok mereka hingga setinggi yang berani mereka lakukan., and basked di bawah sinar matahari selagi Frisbee dan bola-bola terus-menerus melayang di atas kepala mereka, anjing-anjing berlarian dan mencoba untuk pinch some of their food.
Kulit Holly nampak kecoklatan dan berkilau. Malam itu ia menyisir rambutnya sambil membungkukkan badan untuk membuat rambutnya lebih mengembang dan kelihatan seksi, mengoleskan pemulas pipi, dan menyematkan anting bulat perak di telinganya. Ia tidak melakukan ini untuk Tom melainkan untuk dirinya sendiri, walaupun ia tahu Tom akan menyukainya.
Mobil Tom menepi di luar flat-nya sekitar pukul tujuh, membunyikan klaksonnya, dan Holly berlari menuruni tangga dan masuk ke mobil.
‘Kau kelihatan cantik!’ Kata Tom terkejut ketika Holly mencium pipinya.
‘Aku tahu!’ tukas Holly. ‘Obral di Ghost.Barang murah. Hebat kan?’
‘Ya, dan kenapa kulitmu sangat coklat?’
‘Campuran antara Primerose Hill dan makeup. Kau suka?’
‘Kau kelihatan luar biasa. Ayo. Aku pesan tempat di Julie’s.’
‘Oh bagus,’ Holly bersandar di kursinya. ‘Sungguh romantis.’
‘Aku tahu. Mudah-mudahan saja aku beruntung.’
Holly mengangkat alisnya. ‘Mainkan kartumu dengan benar dan kau tidak akan pernah menduganya.’
Mereka makan malam dengan diterangi lilin di sudut ruangan. Bagi orang selain Holly dan Tom, itu adalah makan malam yang sangat romantis, tapi mereka berdua tidak saling membisikkan rayuan dan kata-kata manis kosong lainnya, mereka mengobrol tanpa henti, menceritakan lelucon dan terus-menerus tertawa terbahak-bahak.
Mereka berlomba menghabiskan crème brulee, garpu mereka beradu selagi keduanya mencoba menyendok lebih banyak, dan ketika akhirnya mobil Tom menepi diluar flat Holly, dia mampir untuk minum kopi seperti biasanya.
Malam itu adalah malam yang sempurna. Mereka tidak sedang jatuh cinta satu sama lain, hanya menikmati kebersamaan mereka, tidak ada harapan palsu yang bisa menimbulkan kekecewaan.
Holly menghempaskan tubuhnya di sofa disebelah Tom, dan meletakkan kakinya diatas kaki Tom.
‘Hati-hati,’ kata Tom sambil nyengir. ‘Kau bukan ingin menggodaku, kan?’
‘Sama sekali tidak,’ sahut Holly, menyeruput kopinya. ‘Aku sudah terlalu banyak mendapat pelajaran, terima kasih.’
‘Aku sering membayangkan …’ kata Tom, matanya tidak menatap Holly tetapi malah focus kepada kakinya yang terbungkus lilac coat Ghost, ‘bagaimana rasanya menciummu.’
‘Oh hentikan itu.’ Tawa Holly meledak. ‘Jangan katakan kepadaku malam ini kau akan mencoba merayuku?’
Tom mengangkat bahu dan tersenyum. ‘Aku sedang memikirkannya.’
‘Ya sudah kalau begitu.’ Holly mengangkat alisnya, tahu bahwa hal ini tidak akan terjadi – tidak ada ketegangan seksual, tidak ada gairah, tidak ada ketertarikan seksual. ‘Kutantang kau.’
Selama beberapa detik keduanya tidak bergerak, Holly hampir tertawa lagi sambil berkata Aku tahu kau hanya berpura-pura, dan kemudian perlahan Tom meletakkan cangkir kopinya dan menoleh untuk menatap Holly, dan tiba-tiba saja Holly tidak lagi tertawa.
Itu adalah ciuman paling lembut, tentative, paling thrilling yang pernah dialami Holly. Bahkan pada saat bibir Tom menyentuh bibirnya ia tidak yakin bahwa ini betul-betul terjadi, masih duduk disitu sambil tersenyum, tidak mengira Tom benar-benar akan melakukannya.
Pelan, lembut, hanya merasakan bibir Tom di atas bibirnya, dan senyumnya pun menghilang. Dan kemudian, ciuman pada bibir atasnya, bibir bawahnya, hingga akhirnya ia berani menjilat bibir Tom, dengan lembut, dan disinilah mereka sekarang. Berciuman. Jari-jari mereka saling membelai wajah, pipi, dan leher.
‘Holly.’ Bisik Tom.
‘Sssh.’ Holly dissolved into him, kemudian menarik tubuhnya untuk menatapnya. Tom. Tom-nya. Menatapnya dengan mata setengah tertutup karena gairah. Ia tidak mengatakan apa-apa, tidak ingin merusak momen ini, dan kemudian menciumnya lagi, jari-jarinya mulai melepaskan kancing kemeja Tom.
‘Tom.’ Bisik Holly ketika ia mulai mencium dadanya, kembali lagi ke atas dan mencium bibirnya.
Sangat nyaman. Sangat aman.
Jadi beginilah rasanya.
Seperti pulang ke rumah.
Tom pergi pagi harinya. Segala yang terasa begitu benar dan begitu alami malam sebelumnya, menjadi semakin tidak alami ketika pagi datang.
Tom membiarkan Holly tidur. Dia berdiri di sisi ranjang dan menatapnya, sebelum dia keluar dan dilanda kesedihan yang luar biasa. Dia tidak pernah menduga hal seperti ini akan terjadi pada dirinya dan Holly. Dia mencintainya lebih dari siapa pun dan walaupun dia sangat tertarik kepadanya, kau tidak bisa menduri sahabatmu dan berharap semuanya akan kembali normal.
Kau tidak bisa tidur dengan sahabatmu kemudian mulai berkencan lagi, pergi makan malam, berbagi cerita, menunggu kelanjutannya.
Kau tidak bisa tidur dengan sahabatmu dan bersikap seolah-olah kalian adalah sepasang ‘kekasih’. Tidak bisa setengah-setengah. Jika kau tidur dengan sahabatmu, maka kau punya dua konsekuensi. Dan keduanya berarti persahabatan itu sudah berakhir.
Tom mencintai Holly, tapi dia tidak pernah merencanakan ini, tidak siap untuk menghadapi ini. Dia baru dua puluh lima tahun, sama sekali belum siap untuk berkomitmen. Bahkan dengan Holly sekali pun. Masih banyak yang harus diraihnya. Ya Tuhan, Tom menggelengkan kepalanya viciously. Apa yang dipikirkannya? Tapi Holly, sangat cantik dengan lilac coat-nya, dan bahkan lebih cantk lagi di tempat tidur, bagaimana mungkin dia menolaknya? Bagaimana mungkin seorang pria akan menolaknya?
Dan apa yang akan dilakukannya sekarang?
Holly menelpon Tom sore harinya. Mereka bercakap-cakap dengan sangat canggung dan kaku. Percakapan paling kaku yang pernah dialami Holly seumur hidupnya, tapi bukan percakapan yang asing baginya. Ini adalah percakapan yang kau lakukan dengan seorang pria yang merasa terbebani olehmu, Holly menyadarinya. Ini adalah percakapan yang kau lakukan jika kau akan diputuskan, pada saat perasaanmu jelas lebih besar daripada perasaan mereka terhadapmu.
Tapi bagaimana mungkin? Ini bukan orang lain. Ini adalah Tom. Tom!
Mereka menyudahi percakapan itu dan Tom meletakkan gagang telepon dan HHo
meletakkan kepalanya di kedua tangannya. Dia benci situasi ini. Orang terakhir di dunia yang ingin disakitinya adalah Holly, tapi pilihan apa yang dimilikinya? Dia tahu dia tidak bisa menjadi pacarnya, dan bagaimana mungkin mereka bisa kembali berteman setelah semalam?
Aku akan menjaga jarak, Tom memutuskan. Tidak menelponnya dulu untuk sementara waktu. Tidak meninggalkannya, tidak akan pernah meninggalkannya, tapi mereka berdua akan menjaga jarak sampai mereka bisa kembali bersahabat seperti biasanya. Seperti sebelum kejadian semalam.
Selama bermingg-minggu perasaan Holly hancur lebur. Ia sudah berkencan dengan banyak pria untuk menyadari, dengan pedih dan shock, bahwa Tom tidak berbeda dengan mereka semua, bahwa persahabatan mereka yang sudah terjalin bertahun-tahun tidak ada artinya, dan bahwa segalanya tidak akan pernah sama lagi diantara mereka.
Membolak-balik halaman Time Out sore hari itu, Holly melihat iklan ekspedisi selama tiga bulan di Australia. Kehidupan di Inggris belum pernah bleaker seperti ini, dan nasihat dari teman-temannya yang terus-menerus menyuruhnya untuk bersenang-senang dan melanjutkan kehidupan tidak pernah didengarnya. Ia perlu perubahan, perlu lari dari kenangan itu, perlu menggantikan kenangan yang ada di kepalanya dengan hal lain selain malam bersama Tom. Yang membisikkan ‘Holly’ dan membuatnya berpikir bahwa itu berarti Tom mencintainya dan tidak akan pernah meninggalkannya.
Tom akhirnya mencoba menghubungi Holly ketika ia sedang berada di Australia. Dia merindukannya. Sudah mencoba untuk memikirkan hal-hal lain, tapi nyatanya semua jalanan mengarahkannya kepada Holly, semua perempuan tidak sama dengan Holly, dan terutama dia teringat perasaan yang membuatnya merasa seperti di rumah.
‘Tom? Ini Holly!’
‘Holly? Dimana kau? Kau kemana saja? Aku merindukanmu, kemana kau selama ini?’
Holly tertawa. ‘Australia. Aku berencana pegi selama tiga bulan tapi akhirnya aku malah tinggal selama enam bulan. Aku sangat senang disini, dan aku bertemu dengan seseorang! Bisakah kau percaya itu? Inilah dia, Tom, inilah pria yang akan menikah denganku. Aku tidak sabar menunggu untuk mengenalkannya denganmu.’
Tom yang baik, pikir Holly, mengatur rencana untuk Tom bertemu dengan Marcus. Aku sungguh merindukannya, pikir Holly. Dan ia terlalu sibuk dengan kekasih barunya untuk menyadari kebingungan Tom, untuk menyadari bahwa ia mungkin sudah menyakiti perasaan Tom, sama halnya dengan Tom yang sudah menyakiti perasaannya beberapa bulan sebelumnya.
* * *
‘Aku mencintainya,’ Holly ingin meneriakkannya, mengatakan kepada Paul dan Olivia dan Saffron, tapi ia tidak bisa karena ia tahu apa yang akan diucapkan oleh mereka.
Bahwa mereka juga mencintainya.
  .
di terjemahkan dari Buku second change karya Jane Green

2 komentar: